MEDAN — Skandal dugaan korupsi yang melibatkan mantan Executive General Manager (GM) PT Angkasa Pura II (Persero) Cabang Bandara Internasional Kualanamu, Arif Darmawan, serta empat terdakwa lainnya, memasuki babak baru. Perkara dengan nilai kerugian negara mencapai Rp7.112.454.271 ini akan segera dibawa ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan dalam waktu dekat.
Pengadilan Negeri (PN) Medan Kelas IA Khusus telah menetapkan formasi majelis hakim untuk menangani kasus besar ini. "Pimpinan telah menunjuk pak Cipto Hosari Nababan sebagai hakim ketua, didampingi oleh anggota majelis bu Sarma Siregar dan pak Bernard Panjaitan," jelas Panmud Tipikor Monang Simanjuntak dalam pesan teks, Jumat, 20 Desember 2024.
Jadwal sidang perdana, yang akan fokus pada pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, telah ditetapkan pada Senin, 23 Desember 2024.
Tersangka dan Latar Belakang Kasus
Selain Arif Darmawan, perkara ini juga menyeret empat terdakwa lain, yakni Edi Rusdiana dan Lasman Situmorang, masing-masing bertindak sebagai Manager of Electronic & IT di PT AP II Kantor Cabang Bandara Kualanamu. Kemudian ada Eri Braliantoro, selaku Senior Manager Operation, Services & Maintenance, dan Fida Meilini, yang menjabat sementara sebagai Plt General Manager PT Angkasa Pura Solusi, anak perusahaan PT AP, dari 1 Januari 2018 hingga 30 Juni 2018.
Kasus ini berawal dari proyek "Smart Bandara Kualanamu" yang dilaksanakan dari 2017 hingga 2019. Meskipun tidak bersifat mendesak, proyek ini tetap dijalankan atas arahan Arif Darmawan. Pada 26 Oktober 2017, Arif menunjuk PT Angkasa Pura Solusi untuk mengerjakan proyek ini.
Tawaran harga awal dari PT Angkasa Pura Solusi adalah Rp34.855.075.552, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), lalu mengalami penurunan menjadi Rp34.301.538.000 sebelum akhirnya penandatanganan Surat Penetapan Pelaksana Pekerjaan (SP3) dilakukan pada 31 Oktober 2017.
Jalur Subkontrak yang Bermasalah
Hasil penelusuran Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Medan menunjukkan bahwa PT Angkasa Pura Solusi harus menyelesaikan 13 item pekerjaan utama. Beberapa di antaranya termasuk tahap persiapan, pengadaan perangkat utama untuk Airport Operation Control Center (OCC), dan banyak lagi.
Sebagian besar item pekerjaan ini disubkontrakkan ke sejumlah perusahaan lain, di antaranya PT Lusavindra Jayamadya (LJ), PT Mitra Sahabat Transindo, PT Express Computer, dan lainnya. Tanpa didukung oleh konsultan perencanaan, Arif Darmawan secara sepihak menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk proyek addendum tersebut, mengakibatkan perubahan angka dari Rp34.301.538.000 menjadi Rp33.984.335.461.
Penyelewengan ini menyebabkan pekerjaan tidak selesai sesuai kontrak, dan pembayaran tetap dilakukan meskipun hasil pekerjaan tidak sesuai dengan isi kontrak. Hal ini menyebabkan kerugian bagi negara sebesar Rp7.112.454.271, sebagaimana ditemukan dalam audit oleh akuntan publik Ribka.
Dakwaan Hukum dan Prospek Persidangan
Arif Darmawan dan kawan-kawan menghadapi dakwaan utama di bawah Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana).
Secara subsidair, mereka juga didakwa melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 UU yang sama, menyoroti penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara.
Sidang perdana mendatang diharapkan dapat mengungkap lebih lanjut tentang bagaimana praktik korupsi ini dijalankan serta peran masing-masing tersangka dalam kasus tersebut. Proses hukum ini menjadi langkah penting dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor pemerintahan dan BUMN.