Pesimisme Bank Indonesia Terhadap Target Pertumbuhan Kredit dan DPK 2024: Dampak Persaingan Suku Bunga dan Penurunan Daya Beli Masyarakat

Rabu, 27 November 2024 | 00:22:28 WIB
Pesimisme Bank Indonesia Terhadap Target Pertumbuhan Kredit dan DPK 2024: Dampak Persaingan Suku Bunga dan Penurunan Daya Beli Masyarakat

JAKARTA - Sebagian kecil bank di Indonesia merasa pesimis tentang pencapaian target pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) pada tahun 2024. Pesimisme ini terungkap dalam laporan Survei Orientasi Bisnis Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) triwulan IV-2024. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi kinerja sektor perbankan adalah terbatasnya pertumbuhan kelas menengah ke bawah, persaingan ketat dalam suku bunga antarbank, dan penurunan daya beli masyarakat.

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa banyak bank yang merasakan tantangan besar dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) 2024. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pesimisme ini adalah terbatasnya pertumbuhan kelas menengah ke bawah yang menyebabkan melambatnya pertumbuhan pendapatan masyarakat. Hal ini berdampak langsung pada permintaan kredit serta pertumbuhan DPK, yang menjadi sumber pendanaan utama bagi bank.

Dampak Kelas Menengah yang Terbatas

Salah satu alasan utama yang menyebabkan pesimisme di kalangan bank adalah terbatasnya pertumbuhan kelas menengah ke bawah di Indonesia. Bank-bank yang menjadi responden dalam survei OJK menyatakan bahwa daya beli masyarakat yang menurun, terutama pada segmen menengah, berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit. Ketika daya beli masyarakat melemah, permintaan untuk produk perbankan seperti pinjaman kredit juga mengalami penurunan. Ini pada gilirannya mempengaruhi pertumbuhan kredit dan DPK yang menjadi harapan perbankan di tahun 2024.

Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, menjelaskan bahwa tantangan besar yang dihadapi bank-bank Indonesia adalah persaingan dalam mendapatkan likuiditas. “Untuk memperoleh likuiditas yang cukup, persaingan antar bank menjadi lebih intens. Bank-bank harus bersaing ketat dalam menawarkan bunga agar bisa menarik lebih banyak nasabah, meskipun suku bunga acuan sudah mulai turun,” jelas Trioksa saat dihubungi oleh CNBC Indonesia.

Namun, meskipun ada penurunan suku bunga, Trioksa menambahkan bahwa kondisi suku bunga yang diprediksi akan tetap tinggi dan mungkin kembali naik dalam waktu dekat tetap menambah kesulitan bagi bank dalam memperoleh likuiditas dengan biaya yang lebih efisien. Hal ini membuat persaingan antar bank semakin ketat, terutama dalam memperoleh dana dari nasabah yang ingin menempatkan uangnya di bank.

Persaingan Suku Bunga dan Pengaruhnya pada Perbankan

Persaingan suku bunga yang ketat antara bank-bank di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama pesimisme dalam pencapaian target pertumbuhan kredit dan DPK. Di satu sisi, penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia seharusnya dapat memberikan ruang bagi bank untuk menurunkan suku bunga kredit dan menarik lebih banyak nasabah. Namun, di sisi lain, kondisi ekonomi yang tidak pasti dan kemungkinan naiknya suku bunga acuan dalam waktu dekat membuat bank-bank harus berhati-hati dalam menawarkan produk dengan suku bunga rendah.

Efdinal Alamsyah, Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR), juga mengungkapkan pandangannya terkait tantangan yang dihadapi oleh bank-bank di Indonesia. Efdinal mengatakan bahwa meskipun ada beberapa perbaikan dalam indikator-indikator ekonomi, kondisi ini tetap mencerminkan tantangan yang cukup besar bagi perbankan. "Kami merasakan kondisi yang sama dengan bank-bank lain, tantangan tetap ada, meskipun ada beberapa indikator yang menunjukkan perbaikan," katanya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.

Efdinal menjelaskan bahwa pesimisme dalam pencapaian target pertumbuhan kredit dan DPK ini merupakan gambaran dari kondisi ekonomi saat ini. Bank-bank harus menghadapi tekanan dalam mengelola likuiditas dan suku bunga, di tengah ketidakpastian yang ada di pasar.

Penurunan Daya Beli dan Dampaknya pada Sektor Perbankan

Fenomena penurunan daya beli masyarakat juga menjadi tantangan besar bagi sektor perbankan. Ketika daya beli masyarakat menurun, maka permintaan terhadap kredit, baik untuk konsumsi maupun investasi, menjadi terbatas. Hal ini secara langsung mempengaruhi pendapatan bank yang bergantung pada pertumbuhan kredit untuk meningkatkan kinerja mereka.

Trioksa Siahaan mengatakan bahwa situasi ini semakin diperburuk oleh fenomena ketidakpastian ekonomi global dan tekanan inflasi domestik yang berpengaruh pada daya beli masyarakat. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi segmen masyarakat menengah ke bawah, tetapi juga segmen masyarakat yang lebih atas, meskipun dampaknya tidak sebesar yang dialami oleh segmen bawah.

"Ketika daya beli menurun, masyarakat cenderung lebih berhati-hati dalam berbelanja, termasuk dalam mengambil kredit dari bank. Oleh karena itu, bank harus menghadapi tantangan dalam menjaga kinerja kredit mereka," jelas Trioksa.

Strategi Bank dalam Menghadapi Tantangan

Menghadapi pesimisme dan tantangan ini, banyak bank mulai mencari strategi alternatif untuk mempertahankan kinerja mereka. Beberapa bank, seperti PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR), misalnya, mulai mengembangkan produk tabungan dengan insentif, seperti bonus bunga atau hadiah menarik, untuk meningkatkan minat nasabah. Selain itu, penguatan layanan digital juga menjadi fokus utama, dengan memperkenalkan fitur mobile banking dan internet banking untuk mempermudah nasabah dalam bertransaksi.

Bank-bank juga mulai fokus pada penguatan basis dana murah (CASA) guna mengurangi ketergantungan pada dana mahal yang lebih rentan terhadap fluktuasi suku bunga. Dengan mengoptimalkan CASA, bank dapat mengurangi biaya dana yang dibutuhkan untuk memperkuat likuiditas dan mendukung ekspansi kredit.

Revisi Target Kinerja Bank: BTN dan BRI

Beberapa bank besar di Indonesia sudah merevisi target kinerja mereka di 2024 sebagai respons terhadap tantangan yang ada. Misalnya, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) sudah menurunkan target pertumbuhan laba menjadi hanya sekitar 1% pada akhir tahun 2024, jauh dari target sebelumnya yang berada pada kisaran 10%-11%. Penyebab utama penurunan ini adalah meningkatnya biaya pendanaan atau cost of fund (CoF) yang dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga acuan.

Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BRI) juga telah menurunkan target pertumbuhan kredit mereka menjadi 10%-12% dari target sebelumnya yang berada pada kisaran 11%-12%. Meskipun demikian, BRI masih yakin bahwa mereka dapat mempertahankan kinerja kredit mereka di level double digit, meskipun dalam situasi yang lebih moderat.

Pesimisme yang terjadi di kalangan bank-bank Indonesia terhadap pencapaian target pertumbuhan kredit dan DPK di 2024 mencerminkan tantangan yang signifikan dalam sektor perbankan. Terbatasnya pertumbuhan kelas menengah, persaingan ketat dalam suku bunga, dan penurunan daya beli masyarakat menjadi faktor utama yang mempengaruhi kinerja perbankan. Untuk menghadapinya, bank-bank harus mengoptimalkan strategi yang ada, seperti diversifikasi produk dan penguatan layanan digital, serta menjaga likuiditas melalui penguatan basis dana murah. Dengan langkah-langkah ini, bank-bank berharap dapat mengatasi tantangan dan tetap mempertahankan kinerja yang solid di tengah ketidakpastian ekonomi.

Terkini