Hari Energi Sedunia, Seruan Tinggalkan Fosil

Jumat, 11 Juli 2025 | 09:00:06 WIB
Hari Energi Sedunia, Seruan Tinggalkan Fosil

JAKARTA - Tanggal 10 Juli bukan sekadar pengingat kalender biasa. Bagi pegiat lingkungan dan masyarakat global yang peduli terhadap masa depan bumi, tanggal ini menjadi simbol penting: Hari Kemerdekaan Energi Sedunia (Global Energy Independence Day). Di tengah sorotan krisis energi global dan tantangan perubahan iklim, peringatan tahun ini menyuarakan pesan yang lebih lantang dari sebelumnya: saatnya bebas dari ketergantungan energi fosil dan bergerak menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Melalui tema “Bebas Energi Fosil, Bergerak untuk Masa Depan”, Hari Kemerdekaan Energi Sedunia 2025 tidak hanya menjadi seremonial tahunan, melainkan seruan untuk beraksi. Tema ini menjadi ajakan terbuka, khususnya kepada generasi muda, untuk menjadi pelaku utama dalam mendorong transisi energi bersih dan menata ulang masa depan energi yang lebih mandiri dan ramah lingkungan.

Di Indonesia, semangat ini digaungkan melalui berbagai kanal informasi publik. Salah satunya lewat siaran program Tangtut PRO4 RRI Sungailiat, yang turut membuka ruang partisipasi masyarakat untuk menyampaikan pandangannya seputar makna kemandirian energi.

Salah satu warga yang menyampaikan opininya adalah Julia, warga Desa Air Ruay. Melalui sambungan telepon, ia menyambut baik peringatan Hari Kemerdekaan Energi Sedunia sebagai momen refleksi dan langkah konkret menuju perubahan gaya hidup lebih hemat energi.

“Kita harus segera menghemat energi dan mengenal sumber energi ramah lingkungan, dengan cara seperti mematikan lampu dan alat elektronik lainnya saat tidak digunakan. Kemudian menggunakan lampu LED yang lebih hemat listrik dibandingkan lampu pijar, lalu mencabut charger dari stop kontak setelah digunakan dan lain sebagainya,” kata Julia.

Apa yang disampaikan Julia seolah menjadi cerminan praktik kecil namun berdampak besar. Langkah-langkah tersebut tak hanya mengurangi beban konsumsi listrik, tetapi juga merupakan kontribusi langsung dalam menurunkan emisi karbon.

Sementara itu, dari sudut pandang infrastruktur dan kebijakan, aspirasi warga pun tak kalah penting. Jumbro, warga Desa Perlang, menggarisbawahi perlunya peran negara untuk memastikan pemerataan akses energi bersih, terutama di wilayah-wilayah yang selama ini tertinggal dalam pembangunan infrastruktur energi.

“Misalnya dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya dengan panel surya yang dipasang di atap rumah, sekolah, atau fasilitas umum, untuk menghasilkan listrik dari sinar matahari, yang akhirnya mewujudkan kemandirian energi dan meningkatkan kualitas hidup warga di daerah terpencil,” ujarnya dalam acara yang sama.

Pernyataan Jumbro menyoroti isu yang kerap luput dari perbincangan arus utama: ketimpangan akses energi bersih antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Di saat kota besar mulai melirik sumber energi alternatif, banyak desa terpencil masih bergantung pada bahan bakar konvensional, bahkan menghadapi tantangan pasokan listrik yang tidak stabil.

Momentum Hari Kemerdekaan Energi Sedunia di tahun 2025 ini tampaknya tepat dijadikan sebagai titik tolak kebijakan energi nasional, terutama dalam mewujudkan visi kemandirian energi berbasis sumber daya terbarukan.

Penting dicatat bahwa konsep “kemerdekaan energi” tidak sekadar berarti bebas dari impor minyak atau gas. Lebih dari itu, ini menyiratkan kemampuan suatu negara—dan masyarakatnya—untuk menghasilkan dan mengelola energi secara mandiri, berkelanjutan, dan berpihak pada lingkungan.

Dalam konteks global, banyak negara mulai menata ulang peta kebijakan energinya. Lonjakan harga bahan bakar fosil, konflik geopolitik yang berdampak pada pasokan energi, serta tekanan dari komunitas internasional untuk menekan emisi karbon, semuanya menjadi faktor pendorong utama.

Indonesia sendiri telah merumuskan target ambisius dalam peta jalan transisi energi, yakni meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional sebesar 23% pada 2025. Namun, berbagai tantangan masih mengadang, mulai dari pendanaan, teknologi, hingga kesenjangan infrastruktur di daerah tertinggal.

Karenanya, suara-suara seperti Julia dan Jumbro menjadi sangat relevan. Mereka adalah representasi warga biasa yang memahami bahwa kemandirian energi dimulai dari kesadaran dan tindakan kecil di rumah tangga, hingga dorongan konkret agar negara memperluas akses teknologi energi bersih secara adil.

Lebih dari sekadar simbol, Hari Kemerdekaan Energi Sedunia juga merupakan pengingat bahwa perjuangan menuju masa depan energi yang inklusif, berkelanjutan, dan bebas dari dominasi energi fosil, adalah tanggung jawab kolektif. Tidak hanya oleh negara atau korporasi besar, tetapi juga oleh setiap individu yang menyalakan lampu, menyalakan AC, atau mencabut charger dari dinding.

Jika dunia ingin mencapai target pengurangan emisi karbon dan menjaga suhu bumi tetap aman, maka transisi energi bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Dan Hari Kemerdekaan Energi Sedunia bisa menjadi momen untuk mempercepat langkah ke arah itu.

Terkini

Olahraga Pagi Efektif Bakar Lemak

Jumat, 11 Juli 2025 | 10:50:28 WIB

Cara Sadap WA Pasangan Tanpa Ketahuan

Jumat, 11 Juli 2025 | 13:44:40 WIB

Dokter Jelaskan Bahaya Skincare Bermerkuri

Jumat, 11 Juli 2025 | 13:54:29 WIB