Tantangan Nyata Energi Hijau Global

Senin, 07 Juli 2025 | 07:14:53 WIB
Tantangan Nyata Energi Hijau Global

JAKARTA - Di balik sorotan publik yang kian terang pada inisiatif energi hijau, dinamika perkembangan industri energi hijau—khususnya di Amerika Serikat—menggambarkan realitas keras yang patut menjadi pelajaran. Bagi Indonesia yang tengah agresif mendorong transisi energi terbarukan, kondisi naik-turun perusahaan hijau di negeri Paman Sam adalah cermin bahwa prospek bisnis energi hijau tidak selalu cerah. Fenomena puluhan perusahaan energi hijau, terutama sektor tenaga surya, yang mengajukan kebangkrutan dalam periode 2023-2025, menegaskan volatilitas nyata subsektor ini.

Perkembangan ini mengingatkan pada sejumlah proyek besar pemerintah Indonesia, seperti peresmian pabrik panel surya di Kendal dan inisiatif strategis Presiden Prabowo, bahwa mendukung ekonomi hijau perlu dibarengi pemahaman mendalam terhadap tantangan yang mengintai. Sebab, gagasan besar sering kali berseberangan dengan tantangan teknis dan finansial yang tidak sederhana.

Menempatkan Ekonomi Hijau sebagai Landasan Pembangunan

Secara definisi, ekonomi hijau (EH) mengedepankan kesejahteraan manusia dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Konsep ini menitikberatkan pada efisiensi penggunaan sumber daya, pengurangan emisi karbon, dan pembangunan yang berkelanjutan. Tidak hanya menjadi tren global, ekonomi hijau telah diadopsi oleh banyak negara ke dalam strategi pembangunan jangka menengah dan panjang, termasuk Indonesia. Bahkan, Bank Indonesia pun meresponsnya dengan membentuk Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau (DEIH) di awal tahun ini.

Cakupan ekonomi hijau mencakup pemanfaatan sumber daya berkelanjutan, inklusivitas sosial, peningkatan efisiensi, hingga keseimbangan ekosistem. Seluruhnya bertujuan agar pemanfaatan sumber daya tidak hanya untuk keuntungan sesaat, tetapi juga memastikan ketersediaan bagi generasi mendatang.

Sistem ekonomi hijau menekankan pengurangan emisi gas rumah kaca serta adopsi energi terbarukan guna menekan laju perubahan iklim. Inovasi teknologi, seperti peningkatan efisiensi energi dan pengelolaan air, menjadi kunci mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih ramah lingkungan dan adil.

Tantangan dalam Implementasi Ekonomi Hijau

Dalam praktiknya, penerapan ekonomi hijau menyentuh beragam sektor. Di industri, teknologi ramah lingkungan seperti energi terbarukan dan proses produksi efisien menjadi elemen krusial. Di bidang pertanian, konsep pertanian organik dan sistem berkelanjutan menonjol karena dinilai dapat menjaga kesuburan tanah sekaligus meningkatkan pendapatan petani.

Sektor transportasi pun diarahkan pada kendaraan listrik dan transportasi publik ramah lingkungan, sementara sektor infrastruktur menekankan pembangunan bangunan efisien dan berwawasan lingkungan. Pengelolaan limbah yang produktif, termasuk upaya daur ulang, juga menjadi bagian penting dalam skema ekonomi hijau.

Rumusan-rumusan ini menyasar peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelestarian lingkungan, dan keberlanjutan yang akhirnya mendongkrak daya saing bangsa. Ekonomi hijau, jika dijalankan konsisten, diyakini mampu menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan kualitas hidup, dan memperkuat ketahanan ekonomi dari krisis iklim maupun keterbatasan sumber daya.

Komitmen Kebijakan Ekonomi Hijau di Indonesia

Di Indonesia, model ekonomi hijau dijadikan tumpuan pembangunan berkelanjutan dengan fokus pada investasi, keterampilan, dan kesejahteraan sosial. Definisi ini sejalan dengan konsep United Nations Environment Programme (UNEP) yang kemudian diadopsi ke dalam kebijakan nasional. Salah satu langkah nyata Indonesia ialah kolaborasi Bappenas dengan Global Green Growth Institute sejak 2013, dengan tiga sektor utama: energi berkelanjutan, lanskap berkelanjutan, dan infrastruktur berkelanjutan.

Dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah mengintegrasikan pembangunan rendah karbon dengan strategi utama menurunkan emisi GRK, memberikan stimulus hijau bagi pemulihan ekonomi, serta menjalankan pembangunan rendah karbon sesuai target nasional. Sedangkan dalam RPJMN 2025-2029, ekonomi hijau kembali menjadi prioritas sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, berdampingan dengan prioritas ekonomi biru.

Transisi ke ekonomi hijau diukur melalui indikator yang menggabungkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti penurunan kemiskinan, perbaikan kualitas SDM, serta peningkatan PDB yang selaras dengan pengurangan intensitas emisi.

Menyelisik Kinerja dan Kenyataan Industri Energi Hijau

Sektor energi hijau sering dianggap perwujudan paling nyata ekonomi hijau karena basisnya pada sumber daya terbarukan. Data investasi menunjukkan bahwa kapitalisasi pasar ekonomi hijau global pada kuartal pertama 2024 mencapai US$7,2 triliun, menandai kebangkitan dari keterpurukan 2022. Meski begitu, keberlanjutan dana investasi terbukti berfluktuasi, dan pada paruh kedua 2024, kinerja dana hijau mulai melampaui dana tradisional.

Menurut analisis Morningstar, investasi US$100 di dana berkelanjutan pada 2018 kini bernilai US$136, lebih unggul dibandingkan dana tradisional yang hanya menjadi US$131. LSEG menilai ekonomi hijau sebagai peluang investasi terbesar abad ini, meski tantangan dari rantai pasok, inflasi, dan kebijakan proteksionis turut menyebabkan kinerja industri ini cepat naik turun.

Kebangkrutan di Sektor Energi Surya dan Biomas AS: Pelajaran Berharga

Kondisi di Amerika Serikat menjadi contoh nyata. Dari 2022-2023, sekitar 80 perusahaan energi hijau di sektor surya mengajukan kebangkrutan akibat kesulitan finansial. Perusahaan-perusahaan seperti Sunnova, SunPower, dan Lumino Solar tak mampu bertahan karena terjepit tingginya suku bunga, masalah rantai pasok, dan ketidakpastian kebijakan.

Tak hanya energi surya, sektor biomas berbahan kayu pun menghadapi hal serupa. Enviva, perusahaan produsen pelet kayu terbesar, kesulitan menanggulangi korosivitas bahan baku meski harganya murah, menyebabkan penghentian produksi. Fulcrum BioEnergy yang mengolah limbah menjadi bioavtur di Nevada, juga menutup operasionalnya akibat krisis bahan baku pada 2024.

Strategi Indonesia agar Tak Jatuh ke Lubang yang Sama

Indonesia patut belajar dari kegagalan tersebut. Ketergantungan biodiesel hanya pada minyak sawit berisiko menimbulkan masalah baru pada neraca ekspor dan APBN. Diperlukan diversifikasi bahan baku serta pengembangan teknologi dalam negeri seperti katalis Merah Putih dan biohidrokarbon untuk bioavtur.

Jika Indonesia tak mau mengulangi pengalaman pahit negara lain, investasi riset dan inovasi teknologi harus diutamakan agar industri energi hijau bisa tumbuh berkelanjutan, bukan hanya euforia sementara.

Terkini

Keberuntungan Menanti Tiga Shio Ini

Senin, 07 Juli 2025 | 14:40:36 WIB

Megawati Ukir Sejarah di Liga Voli Turki

Senin, 07 Juli 2025 | 14:46:47 WIB

Pinjol OJK: Cara Kenali yang Resmi

Senin, 07 Juli 2025 | 14:49:42 WIB

Wuling Air EV: Pajak Ringan Mobil Listrik 2024

Senin, 07 Juli 2025 | 14:52:55 WIB