JAKARTA - Di tengah derasnya arus kapitalisme dan dominasi sistem keuangan konvensional, perbincangan mengenai gagasan mendirikan Bank Syariah Muhammadiyah (BSM) kembali menghangat. Kehadiran bank syariah yang berbasis pada salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ini dianggap sebagai langkah monumental yang bisa menjadi momentum kebangkitan ekonomi umat. Namun, di balik potensi besar itu, tantangan yang menanti tidaklah kecil.
Wacana pendirian Bank Syariah Muhammadiyah mencuat seiring pernyataan salah satu Wakil Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata PP Muhammadiyah. Isu ini bahkan sempat dikaitkan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang disebut-sebut akan segera mengeluarkan izin. Namun, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas segera mengklarifikasi bahwa izin yang tengah diproses bukanlah untuk bank umum syariah, melainkan untuk pendirian BPRS Muhammadiyah. Terdekat, izin operasional yang sedang ditunggu ialah BPR Syariah Matahari milik Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) yang sedang dalam proses konversi.
Terlepas dari klarifikasi itu, wacana Bank Syariah Muhammadiyah telah memantik diskusi luas, terutama di internal Muhammadiyah dan kalangan pegiat ekonomi syariah nasional. Gagasan ini menimbulkan dua kutub pendapat: satu pihak melihatnya sebagai lompatan besar kemandirian ekonomi umat, sementara pihak lain menilai perlu kehati-hatian mengingat tingginya risiko industri perbankan.
Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia memang belum memiliki bank umum syariah sendiri. Padahal, mereka sudah mengelola ribuan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang pendidikan, kesehatan, hingga koperasi dan Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM) yang tersebar dari kota besar sampai pedesaan.
Dengan jaringan 163 perguruan tinggi, lebih dari 126 rumah sakit dan 231 klinik, ribuan sekolah, serta ratusan BMT dan koperasi, Muhammadiyah sesungguhnya memiliki target pasar internal yang sangat besar untuk menopang sebuah bank syariah. Kehadiran Bank Syariah Muhammadiyah diyakini akan menjadi jantung sistem finansial bagi persyarikatan, menyuplai kebutuhan pembiayaan, menampung dana, hingga memperkuat roda ekonomi warga Muhammadiyah.
“Langkah ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga tentang konsolidasi kekuatan umat agar kemandirian ekonomi tidak sekadar wacana,” kata salah seorang pengurus Muhammadiyah dalam diskusi internal.
Namun, tantangan yang harus dihadapi Muhammadiyah juga besar. Pertama, soal modal. OJK mewajibkan modal minimal Rp10 triliun untuk mendirikan bank umum syariah. Ini bukan angka kecil, meski Muhammadiyah memiliki jaringan luas. Jika penghimpunan modal tidak dilakukan dengan profesional dan transparan, bisa timbul kegaduhan internal yang justru berisiko meruntuhkan kepercayaan jamaah.
Kedua, pengalaman menunjukkan banyak lembaga keuangan Islam rontok bukan karena konsep syariahnya, tetapi karena manajemen internal yang buruk. Tarik-menarik kepentingan, penempatan SDM yang tidak profesional, serta lemahnya tata kelola bisa menjadi bom waktu bagi lembaga keuangan, termasuk jika Bank Syariah Muhammadiyah nanti terbentuk.
“Apakah Muhammadiyah siap menempatkan figur profesional, meski bukan kader murni, di posisi strategis seperti direksi dan komisaris?” jadi pertanyaan krusial yang dilontarkan banyak pihak. Sebab, profesionalitas dan independensi bank dari intervensi politik internal adalah kunci bertahan di industri perbankan yang sangat kompetitif.
Tantangan ketiga adalah pasar. Saat ini, total aset bank syariah di Indonesia baru sekitar 7% dari total industri perbankan nasional. Bahkan Bank Syariah Indonesia (BSI), hasil merger tiga bank syariah BUMN, masih berkutat dengan tantangan ekspansi dan literasi pasar. Ini menunjukkan pasar keuangan syariah di Indonesia belum sepenuhnya matang.
Belum lagi, potensi resistensi dari lembaga keuangan Muhammadiyah yang sudah eksis seperti jaringan BPRS, BTM, dan koperasi. Tanpa ekosistem yang terintegrasi, kehadiran bank umum syariah malah bisa memicu kompetisi internal yang tidak sehat.
Meski demikian, potensi kehadiran Bank Syariah Muhammadiyah juga tidak bisa diremehkan. Basis kader Muhammadiyah yang dikenal terdidik dan melek teknologi bisa mendukung strategi perbankan digital. Sebagai alternatif, Muhammadiyah dapat mempertimbangkan mendirikan bank syariah digital. Ini bisa menekan biaya operasional karena tidak perlu banyak cabang fisik, sekaligus menjangkau seluruh Indonesia dengan aplikasi perbankan daring.
“Bank syariah digital adalah solusi moderat yang lebih realistis. Muhammadiyah bisa fokus pada layanan digital, edukasi keuangan syariah di sekolah, kampus, hingga masjid, tanpa beban biaya besar,” ujar seorang akademisi ekonomi syariah.
Dari sisi ideologis, kehadiran bank syariah Muhammadiyah juga dapat membangkitkan semangat kemandirian umat. Bank ini bisa mengembangkan produk keuangan khas, seperti pembiayaan pendidikan Islam, rumah sakit Islam, bisnis halal, wakaf tunai, dan zakat produktif. Ini sulit diwujudkan jika hanya bergantung pada bank syariah komersial yang berorientasi keuntungan semata.
Bank Syariah Muhammadiyah juga bisa menjadi sarana edukasi dan riset keuangan Islam. Dengan sinergi bersama perguruan tinggi Muhammadiyah, bank ini dapat membuka pusat riset untuk mengembangkan produk keuangan syariah otentik, yang sesuai kebutuhan umat.
Namun, mimpi besar ini harus disertai kesiapan infrastruktur, modal sosial, tata kelola profesional, dan SDM mumpuni. Semangat tidak boleh melebihi kapasitas. Harapan tidak boleh menutup nalar risiko.
Jika berhasil, Bank Syariah Muhammadiyah akan menjadi ikon baru gerakan ekonomi Islam modern, memperkuat posisi Muhammadiyah dalam dakwah sosial-keagamaan, serta menopang kemandirian ekonomi umat. Namun jika gagal, tak hanya dana jamaah yang terancam, tetapi juga kepercayaan publik yang akan sangat sulit dipulihkan.