JAKARTA — Benua Eropa saat ini tengah mengalami fenomena luar biasa di sektor otomotif. Bukan karena inovasi pabrikan lama, melainkan akibat agresivitas produsen mobil listrik asal Tiongkok, Build Your Dreams (BYD), yang meluncurkan serangkaian kendaraan listrik murah dan canggih dalam tempo singkat. Strategi ekspansi masif BYD telah membuat para pemain lama di pasar otomotif Eropa khawatir, terutama ketika BYD secara terbuka mengumumkan ambisinya untuk mendominasi semua segmen pasar, dari mobil terjangkau hingga kendaraan premium.
Tembakan pembuka strategi agresif BYD adalah peluncuran BYD Dolphin Surf, yang di pasar Eropa setara dengan model fenomenal BYD Seagull di Tiongkok. Model ini dibanderol hanya 18.650 Euro atau sekitar Rp380 juta. Dengan harga tersebut, Dolphin Surf secara langsung menantang mobil listrik termurah di pasar Inggris, Dacia Spring, dan memicu “perang harga” di segmen kendaraan listrik hemat biaya.
Namun, strategi BYD bukan sekadar soal harga. Alfredo Altavilla, penasihat khusus BYD untuk Eropa, secara tegas menyatakan bahwa langkah perusahaan ini merupakan upaya menaklukkan pasar Eropa secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan enam mobil dalam waktu kurang dari setahun,” kata Altavilla. “Saya tidak punya masalah untuk mengatakan bahwa saya rasa tidak pernah ada serangan produk yang begitu masif di Eropa seperti yang dilakukan BYD saat ini.”
Strategi Dominasi: Banjir Produk di Semua Segmen
Langkah BYD di Eropa berpegang pada formula sederhana: banjir pasar, kuasai berbagai segmen, dan dominasi sepenuhnya. Tidak hanya mengandalkan model murah seperti Seagull, BYD juga menghadirkan kendaraan di segmen premium melalui merek Denza dan Yangwang, yang menantang brand papan atas seperti Porsche.
“Kami mencakup semua segmen terpenting di pasar mobil Eropa,” tegas Altavilla, yang seolah mengirimkan sinyal keras ke seluruh pemain lama di industri otomotif bahwa BYD siap menempati setiap celah pasar. Bukti keseriusan itu ditunjukkan dengan keberangkatan kapal pengangkut raksasa bernama Xi’an yang membawa sekitar 7.000 unit mobil BYD ke dealer-dealer di Inggris, Italia, Spanyol, dan Belgia.
Langkah ekspansi cepat ini berhasil membuat BYD menyalip penjualan Tesla di beberapa periode. Tidak hanya itu, peluncuran produk secara bertubi-tubi juga telah mengubah pola konsumsi kendaraan listrik di Eropa, memperluas akses kendaraan ramah lingkungan ke kalangan yang sebelumnya kesulitan membeli EV karena harga mahal.
Indonesia di Ambang “Invasi” BYD?
Keberhasilan BYD di Eropa menimbulkan pertanyaan besar di Indonesia: apakah negara ini akan menjadi target berikutnya untuk strategi “banjir produk” BYD? Tanda-tandanya mulai terlihat jelas. Dalam waktu singkat, BYD sudah memperkenalkan model-model seperti Dolphin, Atto 3, dan Seal di pasar Indonesia, serta berencana menambah model baru seperti Sealion 7 dan M6.
Pola peluncuran cepat dan merata di berbagai segmen ini sangat mirip dengan pola penetrasi pasar yang diterapkan BYD di Eropa. Kunci dari strategi BYD di setiap negara adalah kehadiran model massal dengan harga sangat terjangkau. Jika Seagull benar-benar diluncurkan di Indonesia dengan harga di bawah Rp300 juta, hal ini akan menciptakan “gempa” besar di pasar mobil listrik nasional.
Model Seagull sendiri di Tiongkok dijual di bawah Rp160 juta, membuatnya menjadi salah satu mobil listrik termurah di dunia. Jika BYD menerapkan strategi serupa di Indonesia, mobil ini akan bersaing ketat dengan merek-merek yang saat ini mendominasi segmen EV terjangkau, seperti Wuling Air EV atau Neta V.
Seperti di Eropa, langkah agresif BYD berpotensi menimbulkan disrupsi harga di pasar lokal. Ketika konsumen melihat ada pilihan EV baru yang lebih baik dengan harga lebih murah, harga jual kembali (resale value) mobil listrik lain yang sudah dibeli akan tertekan. Konsumen yang sudah membeli EV dengan harga lebih mahal berisiko mengalami kerugian nilai kendaraan.
Ancaman dan Peluang di Pasar Nasional
Jika skenario ini terjadi, bukan hanya pabrikan lain yang akan terdampak. Para pelaku industri pendukung otomotif seperti leasing, asuransi, hingga bengkel dan jaringan purna jual juga harus bersiap menghadapi perubahan besar dalam perilaku pasar.
Sementara itu, pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi dampak strategi agresif BYD ini. Salah satunya dengan memastikan keberlanjutan ekosistem EV nasional, seperti ketersediaan charging station, insentif produksi dalam negeri, dan perlindungan industri otomotif lokal agar tidak “mati suri” menghadapi gelombang produk murah impor.
Namun, di sisi lain, masuknya BYD secara agresif juga membawa peluang besar bagi konsumen Indonesia untuk memperoleh kendaraan listrik berkualitas dengan harga lebih terjangkau. Ini sejalan dengan target pemerintah mencapai target Net Zero Emission dan meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di jalanan Indonesia.
Kini, semua mata tertuju pada langkah BYD selanjutnya. Dunia otomotif menunggu dengan saksama: apakah Indonesia akan menjadi saksi dari pergeseran peta kekuatan otomotif paling dramatis dalam sejarah nasional, seperti yang sedang terjadi di Eropa?