JAKARTA- Indonesia kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung transisi energi bersih dan pengembangan industri hijau. Kerja sama strategis antara Indonesia dan Singapura terkait pengembangan energi baru terbarukan (EBT) diproyeksikan tidak hanya mendorong pencapaian target bauran energi nasional, tetapi juga berpotensi menyerap ratusan ribu tenaga kerja dari berbagai sektor.
Kesepakatan besar ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dan Menteri Tenaga Kerja sekaligus Menteri Kedua Perdagangan dan Industri Singapura, Tan See Leng, di Jakarta. Salah satu poin penting dalam MoU tersebut adalah ekspor listrik bersih dari Indonesia ke Singapura sebesar 3,4 gigawatt (GW) hingga 2035.
Tak hanya itu, kedua negara juga menyepakati pengembangan zona industri hijau di kawasan Kepulauan Riau (Kepri), meliputi wilayah Bintan, Batam, dan Karimun. Zona ini diproyeksikan menjadi pusat manufaktur panel surya, baterai, serta pengembangan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS), sebuah langkah konkret untuk mendukung target penurunan emisi karbon di Indonesia dan kawasan ASEAN.
Potensi Ratusan Ribu Lapangan Kerja
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebutkan bahwa proyek ambisius ini akan membuka peluang lapangan kerja baru dalam jumlah besar, khususnya dari sektor industri pendukung.
"Penyerapan tenaga kerja iya. Tapi produsen sel dan modul surya modern dilakukan secara otomatis dan robot, jadi tidak besar,” ujar Fabby saat ditemui di Jakarta. “Tapi kalau ada industri ini akan memicu rantai pasok dan industri pendukung yang membuka lapangan kerja lebih besar.”
Menurut catatan IESR, potensi penciptaan lapangan kerja diproyeksikan mencapai 418 ribu tenaga kerja. Sebagian besar berasal dari sektor manufaktur, konstruksi, operasi, serta pemeliharaan panel surya dan baterai. Selain itu, kehadiran zona industri hijau juga akan mendongkrak aktivitas ekonomi daerah serta meningkatkan kualitas SDM lokal.
Investasi yang diserap dari kesepakatan ini tidak main-main. Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan kawasan industri hijau tersebut diperkirakan menelan dana investasi antara 30 hingga 50 miliar dolar AS. Sementara itu, sektor manufaktur panel surya dan baterai diproyeksikan menyedot investasi sekitar 2,7 miliar dolar AS.
Dampak Ekonomi: Devisa dan Investasi Jangka Panjang
Fabby menegaskan bahwa kerja sama ini akan memberikan manfaat signifikan bagi perekonomian Indonesia, terutama dalam bentuk devisa dari ekspor listrik hijau ke Singapura.
“Keuntungan yang paling jelas adalah kita bisa mendapatkan investasi di pembangkitan energi terbarukan, devisa selama berjualan listrik hijau ke Singapura, selama 20 tahun sejak operasi,” jelasnya.
Tak hanya itu, pengembangan zona industri hijau di Kepri juga akan mempercepat pertumbuhan industri modul surya dan baterai di Indonesia. Dengan dukungan infrastruktur yang memadai, kawasan ini diproyeksikan menjadi pusat ekosistem industri hijau di Asia Tenggara.
IESR melihat potensi besar dari MoU ini dalam mendorong pencapaian target bauran energi terbarukan Indonesia sebesar 23 persen pada 2030 dan 46 persen pada 2045. Namun demikian, Fabby juga menegaskan bahwa target nasional tidak hanya bergantung pada kesepakatan ini semata.
“Setahu saya 3,2 GW (AC) / 17 GWp (DC) dan BESS 35,7 GWh akan masuk bertahap dari 2028 sampai 2032,” ungkapnya.
Dorongan untuk Energi Bersih dan Industri Hijau
IESR menyambut baik kesepakatan ini, terutama karena sejalan dengan visi besar Indonesia dalam pengembangan energi hijau. Selain meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan, kerja sama ini juga membuka peluang pertumbuhan bagi industri hijau yang menjadi tulang punggung masa depan perekonomian dunia.
“Dengan ditandatanganinya MoU kemarin, dengan melihat posisi Menteri Bahlil sebelumnya, bisa dikatakan ini adalah kesepakatan yang menguntungkan,” tegas Fabby.
Dari sisi pemerintah, kerja sama ini merupakan langkah konkret dalam mendukung strategi transisi energi nasional, memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok global industri hijau, sekaligus mempererat hubungan bilateral antara Indonesia dan Singapura.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya juga menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen mendukung penuh ekosistem industri hijau ini agar berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
“Indonesia tidak hanya menjadi produsen bahan baku, tapi kita juga ingin menjadi pusat produksi untuk industri hijau masa depan. Itu sebabnya kawasan industri berkelanjutan di Kepri menjadi salah satu prioritas pengembangan,” ujar Bahlil saat penandatanganan MoU.
Tantangan Pengembangan EBT dan CCS
Meski peluangnya besar, implementasi proyek ini tentu dihadapkan pada sejumlah tantangan, mulai dari infrastruktur, kesiapan tenaga kerja, hingga teknologi. Salah satu tantangan utama adalah pembangunan infrastruktur Carbon Capture and Storage (CCS) yang membutuhkan biaya besar dan kolaborasi teknologi dari berbagai pihak.
Namun demikian, IESR optimistis bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin pengembangan CCS di kawasan Asia Tenggara.
“Indonesia memiliki banyak lapangan migas tua yang potensial untuk menjadi tempat penyimpanan karbon. Ini menjadi peluang besar bagi kita dalam pengembangan CCS,” imbuh Fabby.
Selain itu, sinergi pemerintah dengan sektor swasta dan dukungan investor global menjadi kunci keberhasilan implementasi proyek ini.
Transformasi Ekonomi Menuju Industri Hijau
Zona industri hijau di Kepri bukan sekadar proyek regional biasa. Ini adalah cerminan transformasi besar perekonomian Indonesia menuju ekonomi hijau berbasis energi bersih. Dengan investasi yang mencapai puluhan miliar dolar AS dan proyeksi ratusan ribu lapangan kerja baru, Indonesia berpeluang menjadi pemain kunci dalam industri energi bersih di kawasan Asia Tenggara.
Dengan optimalisasi sumber daya lokal, peningkatan kapasitas tenaga kerja, serta pengembangan infrastruktur yang berkelanjutan, kerja sama Indonesia-Singapura ini diharapkan membawa manfaat nyata bagi masyarakat Indonesia, baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Bagi Indonesia, langkah ini menjadi tonggak penting untuk memperkuat komitmen dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global sekaligus mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan.