JAKARTA - Di tengah sorotan global terhadap upaya dekarbonisasi dan transisi energi bersih, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bahwa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara dengan total kapasitas mencapai 3,2 gigawatt (GW) akan mulai beroperasi pada tahun 2025. Proyek-proyek ini disebut telah masuk tahap penyelesaian akhir dan sebagian besar berada pada fase konstruksi akhir.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, menjelaskan bahwa proyek-proyek tersebut merupakan bagian dari rencana jangka panjang pemerintah yang sudah dimasukkan dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelumnya.
"Ini sudah commercial operation date (COD) pada 2025, sekitar 3,2 GW dan sebagian besar sudah konstruksi. Ini merupakan kelanjutan dari proyek-proyek yang sudah direncanakan sejak awal," ujar Jisman.
Dua Skema Utama: IPP dan Proyek PLN
Menurut Jisman, pembangkit-pembangkit yang akan mulai beroperasi tahun ini terdiri dari dua skema besar. Pertama, adalah proyek-proyek yang dikerjakan oleh pihak swasta melalui skema Independent Power Producer (IPP), dan kedua, adalah proyek-proyek yang langsung dikelola oleh PT PLN (Persero).
Semua proyek ini telah memiliki kontrak jual beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) dengan PLN sebagai offtaker. Hal ini memastikan bahwa pasokan listrik dari PLTU tersebut langsung terserap oleh sistem kelistrikan nasional, terutama di wilayah-wilayah yang permintaan energinya masih tinggi.
Tetap Gunakan Batubara, Emisi Jadi Fokus Utama
Dalam konteks global, penggunaan batubara kerap dikritik karena kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca. Namun, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa keputusan untuk tetap mengoperasikan PLTU batubara tidak berarti mengabaikan komitmen terhadap pengurangan emisi.
"PLTU batubara itu bukan barang haram. Batubara banyak dihasilkan di Indonesia dan bahkan kita ekspor. Jadi yang perlu kita perhatikan adalah emisinya. Yang perlu kita selesaikan adalah agar emisinya tidak berdampak pada masyarakat dan global," tegas Jisman.
Pernyataan ini merujuk pada pendekatan realistis pemerintah dalam menjaga ketahanan energi nasional di tengah ketidakpastian global. Salah satu faktor yang dipertimbangkan adalah dinamika geopolitik, seperti kebijakan energi negara-negara besar yang bisa berubah sewaktu-waktu, termasuk kemungkinan Amerika Serikat keluar dari Paris Agreement di bawah pemerintahan tertentu.
RUPTL 2025–2034: Dominasi EBT, Tapi Fosil Masih Punya Peran
Berdasarkan dokumen RUPTL PLN 2025–2034 yang baru saja dirilis, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 69,5 GW. Dari total tersebut, sebanyak 76 persen atau sekitar 52,9 GW berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT).
Rinciannya, tambahan kapasitas dari EBT meliputi:
Pembangkit tenaga surya: 17,1 GW
Pembangkit tenaga air: 11,7 GW
Pembangkit tenaga angin: 7,2 GW
Pembangkit panas bumi: 5,2 GW
Bioenergi: 0,9 GW
Nuklir: 0,5 GW
Pemerintah juga akan membangun pembangkit berbasis teknologi penyimpanan energi seperti PLTA pumped storage sebesar 4,3 GW dan baterai sebesar 6 GW untuk memperkuat sistem ketenagalistrikan berbasis EBT yang cenderung intermiten.
Meski demikian, energi fosil masih akan mendapat porsi cukup besar, khususnya untuk menjaga kestabilan pasokan. Tambahan kapasitas dari gas bumi diperkirakan mencapai 10,3 GW, dan dari batubara sebesar 6,3 GW selama periode RUPTL tersebut.
Alasan Strategis Tetap Andalkan PLTU
Keputusan pemerintah mempertahankan PLTU batubara dalam bauran energi nasional tidak lepas dari kondisi infrastruktur dan distribusi listrik di sejumlah wilayah yang belum sepenuhnya mendukung implementasi EBT secara menyeluruh.
Beberapa wilayah di Indonesia, terutama yang jauh dari pusat industri dan kota besar, masih sangat tergantung pada pembangkit berbasis batubara dan gas. PLTU memberikan keunggulan dari sisi kapasitas dan kontinuitas pasokan, terutama untuk industri berat yang membutuhkan listrik dalam jumlah besar dan stabil.
Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara terbesar di dunia. Memaksimalkan sumber daya ini secara bertanggung jawab dianggap sebagai langkah strategis untuk mendukung pembangunan nasional dan menjaga kestabilan harga listrik.
Transisi Energi Bertahap, Bukan Instan
Pemerintah menggarisbawahi bahwa transisi energi dari fosil ke EBT bukan proses yang bisa dilakukan secara instan. Pendekatan bertahap yang disesuaikan dengan kondisi nasional dipilih agar tidak menimbulkan gangguan terhadap sektor industri, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
"Kita tidak bisa serta merta mematikan PLTU karena ada target net zero. Kita harus punya strategi yang realistis dan implementatif. Energi terbarukan tetap kita dorong, tapi PLTU yang sudah ada tetap akan kita optimalkan sambil memperbaiki sisi emisinya," tambah Jisman.
Ia juga menyebutkan bahwa ke depan, pemerintah akan mendorong implementasi teknologi rendah emisi seperti carbon capture and storage (CCS) serta peningkatan efisiensi pembangkit eksisting sebagai bagian dari roadmap dekarbonisasi.
Penutup: Menuju Sistem Energi yang Seimbang
Dengan kebijakan yang mengakomodasi baik energi terbarukan maupun energi fosil, Indonesia berupaya membangun sistem energi nasional yang andal, terjangkau, dan berkelanjutan. Pembangunan PLTU batubara 3,2 GW yang akan mulai beroperasi pada 2025 menjadi bagian dari strategi besar tersebut.
Kementerian ESDM menegaskan komitmennya untuk tetap mengejar target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025, seiring dengan penguatan regulasi lingkungan dan pengawasan terhadap dampak operasional pembangkit berbasis fosil.
Melalui langkah-langkah strategis ini, diharapkan Indonesia dapat menjaga ketahanan energi nasional sekaligus memenuhi komitmen global terhadap pengendalian perubahan iklim secara bertahap namun pasti.