JAKARTA - Upaya memperkuat ketahanan pangan nasional terus menjadi perhatian berbagai pemangku kepentingan seiring bergulirnya Program Makan Bergizi Gratis.
Salah satu komoditas yang dinilai strategis dalam mendukung keberhasilan program tersebut adalah kedelai, bahan baku utama tempe dan tahu yang telah lama menjadi sumber protein masyarakat Indonesia. Dalam konteks inilah Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia menegaskan pentingnya pemanfaatan kedelai lokal secara terarah dan berkelanjutan.
Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia atau Gakoptindo mendorong penggunaan kedelai lokal dalam program prioritas Makan Bergizi Gratis atau MBG. Sekretaris Jenderal Gakoptindo Wibowo Nurcahyo menyampaikan bahwa pihaknya siap mengambil peran aktif dalam penyediaan tempe dan tahu bagi program tersebut dengan menyiapkan pabrik-pabrik yang layak dan memenuhi standar untuk masuk ke dalam rantai pasok MBG.
Fokus pada kualitas bahan baku
Menurut Wibowo, penggunaan kedelai lokal memiliki nilai tambah tersendiri, terutama dari sisi kualitas dan keamanan pangan. Program Makan Bergizi Gratis, kata dia, harus menggunakan bahan baku terbaik agar manfaat gizinya benar-benar dirasakan oleh penerima manfaat. “Kedelai lokal itu non-GMO. Oleh karenanya, bahan baku tempe dan tahu untuk MBG harus yang terbaik. Saat ini pilihannya adalah kedelai lokal,” ujarnya.
Dorongan penggunaan kedelai lokal ini juga sejalan dengan upaya mendukung program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, khususnya dalam memperkuat sektor pangan dan gizi nasional. Gakoptindo memandang bahwa keterlibatan koperasi produsen tempe dan tahu dalam program MBG merupakan kesempatan untuk meningkatkan peran kedelai lokal dalam sistem pangan nasional.
Keterbatasan produksi dalam negeri
Meski mendorong pemanfaatan kedelai lokal, Wibowo menegaskan bahwa kondisi produksi dalam negeri saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Ia menjelaskan bahwa kebutuhan kedelai nasional dalam setahun mencapai sekitar 2,9 juta ton, sementara serapan dari kedelai lokal masih jauh dari angka tersebut dan bahkan tidak sampai 100.00 ton.
Dengan kondisi tersebut, Gakoptindo menilai bahwa menutup keran impor bukanlah langkah yang realistis. “Dengan kondisi seperti ini, tidak mungkin kita menutup keran impor. Itu hal yang tidak realistis,” tegas Wibowo. Menurutnya, kebijakan pangan harus tetap mempertimbangkan keseimbangan antara ketersediaan pasokan, stabilitas harga, dan daya beli masyarakat.
Perlunya keseimbangan pasokan dan harga
Di tengah upaya pemerintah menggalakkan swasembada pangan, termasuk untuk komoditas kedelai, Indonesia masih memerlukan kedelai impor untuk menjaga stabilitas pasar. Kedelai impor dinilai masih dibutuhkan guna mencegah lonjakan harga dan inflasi, sekaligus memastikan pasokan tempe dan tahu tetap tersedia di tengah meningkatnya kebutuhan masyarakat.
Wibowo mengungkapkan bahwa di sejumlah daerah sudah mulai muncul gejala kenaikan harga tahu dan tempe, serta kesulitan pasokan bahan baku. Kondisi ini, menurutnya, perlu diantisipasi sejak dini agar tidak berdampak luas. “Kalau ini tidak kita kendalikan sejak awal, dan program-program MBG ini terus berjalan hingga 2045, kita bisa kekurangan kedelai dan memicu inflasi,” katanya.
Strategi segmentasi pasar kedelai
Untuk menjawab tantangan tersebut, Gakoptindo mendorong adanya strategi segmentasi pasar antara kedelai lokal dan kedelai impor. Wibowo menjelaskan bahwa pembagian peruntukan ini penting agar kedua jenis kedelai tidak saling mengganggu dan justru saling melengkapi.
Dalam skema yang diusulkan, kedelai impor diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat umum sehingga harga tempe dan tahu tetap terjangkau. Sementara itu, kedelai lokal difokuskan untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis, termasuk untuk produksi susu kedelai non-GMO. “Segmentasinya harus jelas supaya tidak saling mengganggu. Susu kedelai untuk MBG pakai lokal, sedangkan kedelai impor untuk pasar umum,” ujarnya.
Menjaga hubungan dengan importir
Wibowo menambahkan bahwa komunikasi antara Gakoptindo dan para importir kedelai sejauh ini berjalan dengan baik. Dalam posisinya, Gakoptindo berupaya menjaga stabilitas rantai pasok, baik dari serapan kedelai lokal maupun kedelai impor. Ia menegaskan bahwa dukungan terhadap program pemerintah tetap menjadi prioritas utama.
“Kami mendukung program pemerintah karena itu perintah negara, dan di sisi lain kami juga menjaga hubungan baik dengan importir. Kebijakan impor seperti apa nanti, itu ranah pemerintah,” tuturnya.
Tempe dan tahu sebagai pangan strategis
Di tengah meningkatnya kebutuhan pangan bergizi, Wibowo mengingatkan bahwa tempe dan tahu merupakan sumber protein yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Konsumsi tempe dan tahu di tingkat rumah tangga relatif tinggi dan menjadi bagian penting dari pola makan sehari-hari.
Rata-rata konsumsi tempe di setiap rumah tangga mencapai 1,5 kilogram per bulan, sementara tahu berkisar antara 1,7 hingga 1,8 kilogram per bulan. Angka tersebut menunjukkan betapa pentingnya menjaga ketersediaan dan stabilitas pasokan kedelai sebagai bahan baku utama.
“Intinya, kami ingin semua pihak aman dan nyaman. Kedelai lokal kita fokuskan pada segmen tertentu, impor tetap berjalan untuk menjaga harga dan pasokan. Dengan strategi ini, inflasi bisa ditekan dan kebutuhan dalam negeri tetap bisa terpenuhi,” pungkas Wibowo.