JAKARTA – Pemerintah Indonesia dan Jepang menandatangani kesepakatan financial closing untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Muara Laboh, Sumatera Barat, Senin, 5 Mei 2025. Proyek strategis senilai 500 juta dolar AS atau sekitar Rp 8,2 triliun (dengan asumsi kurs Rp 16.450) ini merupakan bagian dari kerja sama dalam kerangka Asia Zero Emission Community (AZEC), inisiatif regional yang mendorong transisi energi bersih di kawasan Asia.
Kesepakatan ini diumumkan sehari sebelumnya oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, usai pertemuan bilateral antara Presiden Republik Indonesia terpilih Prabowo Subianto dan mantan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta.
“Besok akan ada penandatanganan financial closing untuk proyek panas bumi 80 MW di Muara Laboh dengan nilai investasi 500 juta dolar AS,” ujar Airlangga seperti dikutip dari siaran pers Sekretariat Presiden
Proyek Strategis untuk Ketahanan Energi dan Lingkungan
PLTP Muara Laboh akan menjadi salah satu proyek energi baru dan terbarukan (EBT) paling signifikan di Indonesia. Lokasi ini saat ini telah memiliki satu unit pembangkit panas bumi berkapasitas 85 megawatt elektrik (MWe) yang dioperasikan oleh PT Supreme Energy Muara Laboh. Pembangunan tahap pertama pembangkit ini selesai pada 2019 dan menjadi pionir PLTP di Provinsi Sumatera Barat.
Proyek perluasan saat ini akan menambah kapasitas terpasang sekitar 80-83 MW, sehingga total kapasitas Muara Laboh ke depannya akan mendekati 170 MW. Energi panas bumi menjadi salah satu sumber EBT yang sangat diandalkan Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi karbon dan bauran energi ramah lingkungan.
“Kerja sama ini tidak hanya bernilai strategis secara ekonomi, tetapi juga sangat penting dalam konteks pengurangan emisi karbon dan mendukung target net zero emission Indonesia pada 2060,” kata Airlangga.
Dukungan Finansial dan Internasional yang Kuat
Untuk mendukung ekspansi proyek ini, pada Januari 2025 lalu, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) telah menyetujui paket pembiayaan sebesar 92,6 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,51 triliun (kurs Rp 16.328). Dana tersebut akan digunakan untuk membangun, mengoperasikan, dan merawat pembangkit baru dengan kapasitas sekitar 83 MW.
Paket pembiayaan ADB terdiri dari:
38,8 juta dolar AS dari sumber daya modal biasa ADB,
38,8 juta dolar AS berupa pinjaman sindikasi ADB B dari Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC),
15 juta dolar AS pinjaman lunak dari Australian Climate Finance Partnership (ACFP).
Skema pembiayaan ini menunjukkan besarnya kepercayaan komunitas internasional terhadap pengembangan proyek energi bersih di Indonesia, khususnya di sektor panas bumi yang dinilai berpotensi besar namun belum dimanfaatkan secara maksimal.
Komitmen Jepang Terhadap Transisi Energi Indonesia
Hubungan strategis Indonesia dan Jepang dalam sektor energi kembali dipererat melalui kerja sama ini. Dalam pertemuan bilateral yang berlangsung hangat, Presiden Prabowo menyampaikan apresiasi terhadap konsistensi Jepang dalam mendukung proyek-proyek strategis nasional Indonesia, termasuk di sektor energi baru dan terbarukan.
“Bapak Presiden mengapresiasi kerja sama Indonesia dengan Jepang dan berharap ini bisa terus ditingkatkan di tengah ketidakpastian akibat perang tarif,” kata Airlangga.
Sementara itu, Fumio Kishida menyoroti pentingnya memperkuat hubungan bilateral di tengah tantangan global yang semakin kompleks, termasuk perubahan iklim dan geopolitik yang tidak menentu.
“Situasi ini menjadi tidak menentu, dan dalam kondisi seperti ini, kerja sama dua negara menjadi sangat penting,” ujar Kishida seperti disampaikan oleh Airlangga.
Bagian dari Lebih dari 170 MoU Indonesia-Jepang
Hingga saat ini, Indonesia telah memiliki lebih dari 170 nota kesepahaman (MoU) dengan Jepang di berbagai sektor strategis. Ini menunjukkan bahwa Jepang merupakan mitra dagang dan investasi utama bagi Indonesia, termasuk dalam upaya transisi menuju ekonomi hijau dan digitalisasi.
“Investasi dari Jepang selama ini tidak hanya membawa modal, tetapi juga teknologi dan manajemen yang sangat penting bagi pembangunan nasional kita,” jelas Airlangga.
Dalam pertemuan tersebut, hadir pula sejumlah pejabat tinggi Indonesia, antara lain Menteri Luar Negeri Sugiono, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Investasi dan Kepala BKPM Rosan Roeslani, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, serta Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri.
Menjawab Tantangan Ketahanan Energi Nasional
Pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan di Indonesia bisa mencapai 23 persen dari total bauran energi nasional pada 2025. Salah satu fokus utama adalah pemanfaatan panas bumi, di mana Indonesia memiliki potensi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, dengan potensi lebih dari 29 gigawatt.
Namun hingga kini, pemanfaatan potensi tersebut masih berada di bawah 10 persen. Oleh karena itu, proyek Muara Laboh menjadi tonggak penting untuk membuktikan keseriusan Indonesia dalam mendorong EBT.
“Dengan proyek ini, kita tidak hanya memperkuat ketahanan energi nasional, tetapi juga memperluas peluang ekonomi hijau di daerah,” tutur Airlangga.
Pilar Kerja Sama Regional
Kesepakatan proyek Muara Laboh dalam kerangka AZEC juga menunjukkan keselarasan antara kebijakan dalam negeri dan kerja sama regional. AZEC sendiri merupakan inisiatif Jepang yang bertujuan memperkuat kolaborasi energi bersih di Asia, termasuk pengembangan hidrogen, amonia, dan panas bumi.
Melalui kerja sama ini, Indonesia tak hanya menargetkan pengurangan emisi, tetapi juga ingin menjadi pemain utama dalam ekosistem energi hijau regional.
Dengan penandatanganan financial closing proyek PLTP Muara Laboh, Indonesia dan Jepang meneguhkan komitmen bersama dalam menghadapi tantangan global sekaligus menciptakan masa depan energi yang lebih berkelanjutan.