Sampah Menjadi Energi Dampak Lingkungan yang Perlu Diperhatikan

Selasa, 25 Maret 2025 | 16:27:52 WIB
Sampah Menjadi Energi Dampak Lingkungan yang Perlu Diperhatikan

JAKARTA – Pengelolaan sampah di Indonesia semakin menunjukkan kemajuan, salah satunya melalui teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF) yang mulai diterapkan di beberapa daerah. Teknologi ini memungkinkan sampah yang telah diproses diubah menjadi bahan bakar untuk pabrik semen. Meskipun terdengar menjanjikan, implementasi teknologi ini masih menghadapi berbagai kendala, terutama terkait regulasi dan dampaknya terhadap lingkungan.

Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menjelaskan bahwa pengelolaan sampah dengan teknologi RDF dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil. “RDF mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil. Sebagian sampah disuplai ke pabrik semen, sebagian lagi diolah menjadi batu bata,” ujarnya saat mengunjungi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi.

Teknologi RDF telah diimplementasikan di beberapa lokasi, seperti fasilitas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang mampu mengolah 100 ton sampah per hari, serta proyek RDF di Rorotan, Jakarta, yang mampu mengelola 2.500 ton sampah per hari. Meskipun demikian, Zulkifli mengungkapkan bahwa pengembangan teknologi ini masih terkendala oleh permasalahan regulasi, salah satunya terkait skema tipping fee. Skema tipping fee ini merupakan biaya yang dibayarkan pemerintah kepada perusahaan pengolah sampah untuk setiap ton sampah yang diproses.

Kendala Harga Listrik dari Pembangkit Sampah

Salah satu kendala lain yang muncul adalah masalah harga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Zulkifli menyatakan bahwa harga listrik dari PLTSa dinilai terlalu rendah, sehingga kurang menarik bagi investor. “Harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dinilai terlalu rendah, sehingga kurang menarik investor,” jelasnya.

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menambahkan bahwa harga listrik dari PLTSa yang selama ini berlaku masih menjadi hambatan besar dalam pembangunan insinerator. Selama 10 tahun terakhir, harga listrik dari PLTSa berkisar antara Rp8.000 hingga Rp13.500 per kWh, yang menurutnya tidak ideal bagi investor. “Kalau harganya bisa disesuaikan antara pemerintah pusat dan daerah, saya yakin ini akan menjadi solusi yang lebih baik,” ujar Pramono.

Pemerintah juga perlu menyesuaikan harga listrik yang dihasilkan dari PLTSa agar lebih kompetitif dan menarik minat investor. Menurut Pramono, harga listrik yang ideal bagi investor berada di kisaran Rp16.000 hingga Rp20.000 per kWh.

Proyek PLTSa: Masalah yang Terus Mengemuka

Namun, ada pihak yang meragukan keberhasilan proyek PLTSa ini. Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Keadilan Iklim Perkotaan Walhi Nasional, mengatakan bahwa proyek PLTSa yang telah berjalan sejak 2007 justru menimbulkan lebih banyak masalah daripada memberikan solusi. Sejak menjadi Proyek Strategis Nasional pada 2016, hanya dua PLTSa yang berhasil beroperasi, yakni di Surakarta dan Surabaya. Namun, keduanya gagal mencapai target yang diharapkan.

“Di Surakarta, efektivitas operasional hanya 4 persen, sedangkan di Surabaya sekitar 30-40 persen,” jelas Ghofar. Menurutnya, pemerintah sendiri telah mengakui dalam berbagai presentasi bahwa kedua PLTSa tersebut tidak mampu menangani volume sampah yang dijanjikan. Hasil produksi listriknya juga jauh dari target yang ditetapkan.

Berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020, skema pembiayaan PLTSa juga berisiko tinggi bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap ton sampah yang dibakar dikenakan tipping fee sekitar Rp500.000. Ironisnya, pemerintah berencana membangun PLTSa di 30 kota, meskipun proyek ini terbukti tidak efisien.

Dampak Lingkungan dari RDF dan PLTSa

Tidak hanya PLTSa, teknologi RDF juga mendapatkan sorotan terkait dampaknya terhadap lingkungan. Menurut Nindhita Proboretno, Toxics Program Manager Nexus3 Foundation, seperti halnya PLTSa, RDF bukanlah solusi utama untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Potensi masalah baru yang lebih besar justru bisa muncul jika teknologi ini diterapkan secara masif.

Nindhita menjelaskan bahwa permasalahan utama yang dihadapi PLTSa di Indonesia adalah tingginya persentase sampah basah, yang mencapai 60-70 persen dari total sampah domestik. “Kalau dibakar, butuh energi besar untuk mengeringkan sampah tersebut,” katanya. Emisi yang dihasilkan dari pembakaran sampah juga berbahaya, seperti dioksin dan furan, yang dapat mencemari udara dan membahayakan kesehatan manusia. Berdasarkan hasil kajian di beberapa lokasi di Jawa Barat, Bali, dan NTB, sampel dari Bantar Gebang menunjukkan adanya polusi berbahaya yang sangat tinggi, termasuk senyawa polutan organik persisten (POPs) seperti PFAS, PBDEs, dan MCCPs.

“Ini mengindikasikan bahwa polutan telah masuk ke rantai makanan,” tambah Nindhita, yang menekankan pentingnya pemantauan emisi yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa teknologi pengolahan sampah tidak mencemari lingkungan lebih jauh.

Solusi Terintegrasi dalam Pengelolaan Sampah

Nindhita menambahkan bahwa alih-alih bergantung pada teknologi seperti RDF dan PLTSa, Indonesia seharusnya fokus pada sistem pengelolaan sampah yang lebih terintegrasi mulai dari sumbernya, yakni rumah tangga dan lingkungan sekitar. Dengan memperbaiki sistem pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir, diharapkan dapat mengurangi volume sampah yang dibakar dan mengurangi potensi dampak negatif terhadap lingkungan.

Tantangan Pengelolaan Sampah di Indonesia

Meskipun teknologi pengolahan sampah seperti RDF dan PLTSa menawarkan potensi untuk mengatasi masalah sampah, dampak lingkungan yang ditimbulkan dan kendala regulasi masih menjadi tantangan besar. Pengelolaan sampah yang lebih efektif memerlukan koordinasi lintas sektor, penyempurnaan regulasi, dan pengembangan sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menemukan solusi yang tidak hanya mengurangi volume sampah, tetapi juga melindungi kesehatan dan kelestarian lingkungan.

Terkini