Efek Tarif Trump Guncang Dunia: Saham Terjun Bebas, Harga Minyak Anjlok, Inflasi Mengancam

Minggu, 06 April 2025 | 10:18:47 WIB

JAKARTA - Dunia keuangan global kembali diguncang setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal yang memicu kekhawatiran luas di pasar internasional. Kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada negara-negara yang menjadi sasaran tarif baru, tetapi juga memukul ekonomi AS sendiri, menciptakan badai ketidakpastian yang menyapu pasar saham, harga minyak, dan inflasi global.

Langkah cepat diambil oleh China sebagai respons atas tarif tersebut. Beijing langsung mengenakan tarif balasan sebesar 34% untuk berbagai produk asal AS. Tidak berhenti di situ, China juga memperketat pembatasan barang impor lainnya serta menambahkan 11 perusahaan asal AS ke dalam daftar "entitas yang tidak bisa diandalkan". Langkah agresif ini menandai babak baru dalam tensi dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut.

"China merespons dengan tegas untuk melindungi kepentingan ekonominya. Pengenaan tarif 34% dan pembatasan terhadap barang serta perusahaan AS menunjukkan betapa seriusnya Beijing dalam menghadapi kebijakan Presiden Trump," demikian dikutip dari laporan CNBC Internasional, Minggu 6 April 2025.

Dampak langsung dari ketegangan ini terasa di bursa saham. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) mengalami penurunan drastis hingga 1.500 poin hanya dalam dua hari berturut-turut. Penurunan tajam ini mencerminkan kecemasan mendalam para investor terhadap prospek perekonomian global yang semakin suram.

"Penurunan Dow Jones sebesar 1.500 poin dalam dua hari menunjukkan bahwa pasar benar-benar khawatir terhadap eskalasi perang dagang yang dipicu tarif resiprokal Trump," ujar analis pasar dari CNBC Internasional.

Tak hanya saham, harga minyak global juga ikut terseret ke zona merah. Ketidakpastian yang muncul akibat perang dagang meningkatkan kekhawatiran akan menurunnya permintaan energi global. Pasar minyak dunia yang sensitif terhadap dinamika geopolitik dan perdagangan langsung bereaksi negatif terhadap perkembangan ini.

Sementara itu, ancaman inflasi global semakin nyata. Kenaikan tarif impor dipastikan akan mendorong lonjakan harga barang konsumsi, baik di AS maupun di negara-negara mitra dagangnya. Beban tambahan ini akan dirasakan langsung oleh konsumen yang harus membayar lebih mahal untuk berbagai kebutuhan pokok.

"Tarif yang lebih tinggi akan diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih mahal, sehingga meningkatkan tekanan inflasi," jelas laporan CNBC Internasional.

Situasi ini menciptakan dilema bagi bank sentral di berbagai negara, termasuk Federal Reserve AS. Di satu sisi, mereka harus menahan laju inflasi yang dipicu oleh tarif tinggi. Namun di sisi lain, penurunan pertumbuhan ekonomi akibat melemahnya perdagangan global dapat memaksa bank sentral untuk lebih berhati-hati dalam menaikkan suku bunga.

Tidak dapat dipungkiri, kebijakan proteksionis Trump yang bertujuan untuk "mengembalikan pekerjaan ke AS" justru menciptakan ketidakstabilan yang lebih luas. Dunia usaha kini harus menghadapi risiko tambahan dalam operasional dan rantai pasok mereka.

"Ketidakpastian kebijakan perdagangan ini menghambat rencana ekspansi bisnis dan mempersulit perencanaan strategis perusahaan-perusahaan global," ujar seorang ekonom senior yang dikutip oleh CNBC Internasional.

Ketegangan ini juga menambah tekanan bagi negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada ekspor ke AS dan China. Fluktuasi mata uang, aliran modal yang tidak stabil, serta volatilitas pasar menjadi tantangan berat bagi stabilitas ekonomi mereka.

Hingga kini, para pelaku pasar dan pengambil kebijakan di seluruh dunia terus memantau dengan cermat perkembangan situasi ini. Banyak yang berharap kedua negara adidaya ini dapat menemukan jalan tengah guna meredakan ketegangan dagang yang berpotensi menciptakan krisis ekonomi global.

Dengan dinamika yang terus berkembang, jelas bahwa efek domino dari kebijakan tarif Trump tidak hanya menghantam AS dan China, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi dunia secara keseluruhan. Jika ketegangan ini terus berlanjut tanpa solusi, dunia bisa saja menghadapi perlambatan ekonomi yang lebih dalam dan berkepanjangan.

Terkini