JAKARTA – Harga gas untuk pelanggan industri dan komersial non-PGBT (Pengguna Gas Bumi Tertentu) dipastikan naik pada April 2025. Kenaikan ini menjadi konsekuensi dari kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang tetap diberlakukan bagi tujuh sektor industri prioritas. Dampaknya, sektor industri non-PGBT berisiko mengalami lonjakan biaya produksi, pelemahan daya saing, hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, menilai kebijakan ini sebagai bentuk subsidi silang untuk menjaga tarif gas tetap rendah bagi sektor prioritas.
“Peningkatan tarif untuk non-PGBT perlu dikompensasi agar sektor prioritas yang menerima HGBT dapat terus menikmati tarif gas yang lebih rendah,” ujar Andry.
Namun, Andry juga menyoroti pentingnya keadilan dalam kebijakan harga gas industri. Menurutnya, industri di luar sektor prioritas tetap memiliki peran besar dalam perekonomian nasional, baik dari sisi rantai pasok maupun penyerapan tenaga kerja.
“Tentu bukan berarti industri-industri yang tidak masuk dalam prioritas tidak penting. Banyak di antaranya yang memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera menyusun kebijakan harga gas industri yang adil dan sesuai dengan kapasitas fiskal negara,” tambahnya.
Asosiasi Pemasok Energi Mineral & Batubara Indonesia (Aspebindo) juga mengonfirmasi kenaikan harga gas ini. Harga gas untuk industri non-PGBT diperkirakan naik dari US$ 14,27 per MMBTU menjadi US$ 16,89 per MMBTU mulai April 2025. Sebelumnya, sejak kuartal pertama 2024, harga gas telah mengalami lonjakan dari US$ 10,2 per MMBTU menjadi US$ 14,27 per MMBTU.
“Sejak kuartal pertama 2024, harga gas sudah mengalami kenaikan dari US$10,2 per MMBTU menjadi US$14,27 per MMBTU, dan akan terus meningkat pada April 2025,” ujar Wakil Ketua Umum Aspebindo, Fathul Nugroho.
Fathul menambahkan, kenaikan harga gas ini berdampak besar pada sektor industri seperti tekstil dan makanan. Keduanya diperkirakan akan mengalami peningkatan biaya produksi sebesar 20-30%, yang dapat berujung pada penurunan daya saing dan PHK massal.
Selain itu, lonjakan harga gas juga mengancam daya saing ekspor Indonesia akibat meningkatnya biaya energi di sektor industri. Sebagai solusi, Aspebindo mengusulkan agar pemerintah mengalihkan sebagian ekspor gas pipa ke Singapura ke dalam negeri melalui PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai bagian dari Domestic Market Obligation (DMO).
“Langkah ini diyakini dapat menyeimbangkan pasokan gas, menekan biaya energi, serta menjaga kelangsungan usaha sektor industri dan komersial,” tambah Fathul.
Dengan adanya kenaikan harga gas ini, pelaku industri non-PGBT berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menstabilkan harga demi mencegah dampak lebih luas terhadap sektor industri dan tenaga kerja di Indonesia.