Berburu Peluang Investasi di Pasar Modal dan Tantangan Industri Nikel di Tahun 2025

Selasa, 24 Desember 2024 | 13:31:20 WIB
Berburu Peluang Investasi di Pasar Modal dan Tantangan Industri Nikel di Tahun 2025

JAKARTA — Memasuki pergantian tahun 2025, ragam informasi terkait pasar modal, sektor industri, dan kebijakan ekonomi menawarkan peluang dan tantangan menarik bagi investor dan pelaku bisnis Indonesia. Bursa Efek Indonesia (BEI) baru-baru ini mengumumkan adanya 22 perusahaan yang sedang dalam daftar tunggu untuk melaksanakan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO), sebuah momentum yang diprediksi akan diminati oleh investor. Dalam laporan terkini menyajikan beberapa berita penting yang mengupas berbagai aspek ekonomi dan bisnis terkini.

Ekspektasi IPO: Perebutan Investasi di Tengah Tantangan Ekonomi

Sebanyak 22 calon emiten telah bergabung dalam pipeline IPO BEI. Mereka terdiri dari 19 perusahaan berskala besar dengan aset di atas Rp250 miliar, satu perusahaan berskala kecil dengan aset di bawah Rp50 miliar, dan dua perusahaan di kisaran aset menengah yakni antara Rp50 miliar hingga Rp250 miliar. Dari delapan emiten yang dijadwalkan untuk mencatatkan sahamnya pada awal 2025, PT Asuransi Digital Bersama Tbk. (YOII), PT Kentanix Supra International Tbk. (KSIX), dan PT Hero Global Investment Tbk. (HGII) menjadi bagian dari deretan tersebut.

Analis dari Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer, menyoroti dua di antara emiten tersebut yang memiliki potensi menarik bagi calon investor. "CBDK dan RATU adalah dua emiten yang akan kami perhatikan dengan seksama. Ini akan menjadi langkah strategis bagi setiap investor untuk melihat potensi pertumbuhannya di tengah ekonomi yang tidak menentu," ujarnya.

Bank Digital dan Era Suku Bunga Tinggi

Di sisi lain, industri perbankan digital terus memicu persaingan dengan penawaran bunga tinggi untuk menarik lebih banyak nasabah. Persaingan ini terjadi di tengah era suku bunga tinggi yang dipicu oleh kebijakan moneter global. Bank Indonesia (BI) telah memulai siklus penurunan suku bunga dengan mengurangi 25 basis poin pada September 2024, namun tantangan tetap datang dari kebijakan hawkish bank sentral Amerika Serikat yang memastikan siklus penurunan tidak berlangsung mulus.

Stimulus Pemerintah dan Tantangan Industri Padat Karya

Beralih ke sektor industri, pelaku usaha tengah mempertanyakan efektivitas stimulus pemerintah bagi industri padat karya, khususnya dalam menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo), Dedy Rochimat, menyatakan bahwa stimulus berupa kebijakan PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan fasilitas pembiayaan kredit perlu disesuaikan dengan tantangan global. "Ada kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali kebijakan ini, terutama mengingat penurunan daya beli di kawasan Eropa yang mengguncang pasar ekspor kita," kata Dedy.

Produksi Nikel dan Dinamika Harga di Pasaran Global

Di sektor pertambangan, wacana pembatasan kuota produksi nikel telah mendapatkan perhatian luas. Langkah ini diharapkan dapat mendongkrak harga bahan baku baterai di pasaran global. Namun, upaya tersebut mendapat resistensi dari beberapa pihak karena dapat berdampak pada pendapatan pajak dan investasi di sektor nikel. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli, menilai bahwa rencana ini dapat menimbulkan defisit besar jika tidak diimbangi dengan penyesuaian kebutuhan smelter nasional.

"Pemerintah harus bijak dalam memutuskan pembatasan produksi ini karena dampaknya bisa masif. Kita berpotensi mengalami defisit bijih nikel jika produksi turun sementara kebutuhan terus meningkat," ujar Rizal.

Secara keseluruhan, tahun 2025 menjanjikan berbagai dinamika bagi pasar modal, sektor perbankan, industri padat karya, transportasi, dan pertambangan di Indonesia. Para pelaku pasar dan investor diharapkan untuk terus mencermati perkembangan ini agar dapat membuat keputusan informed yang mendukung pertumbuhan dan keberlangsungan bisnis mereka.

Terkini