Energi Alternatif atau Ancaman Lingkungan? Rencana Deforestasi Pemerintah Tuai Kritik Tajam

Kamis, 02 Januari 2025 | 13:20:00 WIB
Energi Alternatif atau Ancaman Lingkungan? Rencana Deforestasi Pemerintah Tuai Kritik Tajam

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan rencana ambisius untuk membuka 20 juta hektare hutan guna pengembangan lahan pangan dan energi. Langkah ini menuai reaksi keras dari berbagai pihak, salah satunya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang menilai bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan komitmen Indonesia di arena internasional terkait pengendalian perubahan iklim.

Kontradiksi dengan Komitmen Iklim

Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Pelaksana Hutan dan Pertanian Walhi, mengkritik langkah pemerintah ini sebagai sebuah kontradiksi dari komitmen nasional di forum internasional mengenai mitigasi perubahan iklim. “Ini kontradiktif dengan komitmen negara kita di dunia internasional terkait dengan iklim. Bahwa kita berkomitmen untuk melakukan aksi mitigasi perubahan iklim, bagaimana mungkin kemudian kita bisa menjalankan komitmen itu, sementara pembukaan lahan dalam skala yang besar itu tetap dilakukan oleh pemerintah,” ungkap Uli dalam wawancara telepon, Kamis, 2 Januari 2025.

Dengan luas yang mencapai 20 juta hektare, Uli juga mempertanyakan untuk siapa sebenarnya hasil dari pembukaan lahan tersebut. Apakah untuk kepentingan rakyat atau hanya memenuhi kebutuhan pasar dan bisnis global. Bentuk perhatian ini tidak lepas dari kekhawatiran akan nasib hutan-hutan yang menjadi paru-paru dunia.

Agenda Tersembunyi Dibalik Deforestasi

Kebijakan ini memunculkan spekulasi mengenai pengelolaan lahan pangan dan energi yang lebih condong kepada korporasi besar, bukan masyarakat lokal. Berkaca dari proyek `food estate` yang dijalankan pemerintah sebelumnya, Uli memperkirakan bahwa pengelolaan lahan berskala besar biasanya jatuh ke tangan korporasi. “Kita tahu bahwa ketika pengelolaan energi dan pangan itu diserahkan kepada korporasi, maka dia tidak akan melihat atau dia pasti akan mengesampingkan pengelolaan yang baik, yang seimbang terhadap lingkungan, dan sesuai dengan konteks atau lokalitas wilayah tersebut,” tegas Uli.

Menurut Walhi, saat ini sekitar 60% dari daratan Indonesia telah berada di bawah kontrol korporasi lewat perizinan tambang, sawit, sektor perkebunan, dan kehutanan. Fakta ini telah menimbulkan berbagai konflik agraria, kriminalisasi, dan kerusakan lingkungan yang signifikan. Uli menyoroti bahwa, “Karena tidak menutup kemungkinan 20 juta hektare ini akan menyasar wilayah penting dan genting seperti ekosistem hutan, gambut, mangrove dan sebagainya.”

Risiko Kerusakan Lingkungan dan Ketimpangan Sosial

Rencana deforestasi skala besar ini tidak hanya memunculkan kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan, tetapi juga berpotensi meruncingkan ketimpangan agraria di Indonesia. Uli menjelaskan, “Hal tersebut juga akan memunculkan ketimpangan agraria yang lebih runcing lagi.” Dengan demikian, ada risiko bahwa eksploitasi ini hanya akan memberikan manfaat bagi kelompok tertentu, sedangkan masyarakat lokal merasakan dampak negatifnya.

Walhi menyerukan kepada pemerintah agar lebih mengedepankan aspek lingkungan dan masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan. Organisasi ini menegaskan bahwa kerangka kebijakan yang masih berorientasi pada keuntungan bisnis cenderung tidak akan pernah menawarkan keadilan baik bagi masyarakat maupun lingkungan. “Dan lagi-lagi ketika itu memang diperuntukkan dan itu masih dilihat dalam konteks bisnis, maka tidak akan pernah ada keadilan di sana, baik keadilan untuk masyarakat maupun keadilan terhadap lingkungan,” pungkas Uli.

Reaksi dari Publik dan Harapan ke Depan

Reaksi publik terhadap rencana deforestasi besar-besaran ini beragam, namun seruan untuk meninjau kembali kebijakan ini kian menguat. Generasi muda, yang semakin memperlihatkan perhatian besar terhadap isu lingkungan hidup, diharapkan mampu menjadi motor pergerakan untuk mendesak kebijakan pemerintah yang lebih berkelanjutan.

Dari perspektif energi, pemerintah didorong untuk menemukan solusi alternatif yang tidak mengorbankan lingkungan. Potensi besar Indonesia untuk sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi menjadi harapan untuk pemenuhan kebutuhan energi tanpa harus merusak hutan.

Dalam konteks strategi yang lebih luas, Indonesia diharapkan dapat bermain peran penting sebagai negara pelopor dalam inovasi energi bersih, sekaligus tetap memenuhi komitmen internasionalnya dalam mitigasi perubahan iklim.

Walhi dan komunitas pencinta lingkungan lainnya berharap dapat menggugah kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Tidak hanya untuk masa kini, tetapi lebih penting lagi untuk masa depan bumi dan anak cucu kita. Di tengah perubahan cepat kebijakan pembangunan, keberanian untuk tetap setia kepada komitmen lingkungan adalah suatu keharusan. Ini bukan hanya masalah lokal, tetapi tanggung jawab global.

Terkini