Pejabat Diminta Pakai Transportasi Umum Tanpa Kawalan: Tanggapan Menteri dan Pejabat Lainnya

Selasa, 04 Februari 2025 | 11:07:00 WIB
Pejabat Diminta Pakai Transportasi Umum Tanpa Kawalan: Tanggapan Menteri dan Pejabat Lainnya

Penggunaan transportasi umum oleh pejabat sering kali dianggap sebagai pemandangan langka di Indonesia. Hal ini cukup mengundang perhatian dan perdebatan, terutama setelah Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, mengutarakan bahwa pejabat semestinya bisa memberi contoh yang baik kepada masyarakat dengan menggunakan transportasi umum.

Djoko Setijowarno menyatakan, "Diperlukan pejabat yang peka terhadap kehidupan sosial masyarakat. Hal yang langka di Indonesia, jika bisa menemukan pejabat yang mau setiap hari menggunakan kendaraan umum ke tempat kerja." Ia menyarankan agar pejabat setidaknya bisa memanfaatkan transportasi umum seminggu sekali, mengingat sistem transportasi di Jakarta sudah cukup terintegrasi.

Selain memberikan teladan, menurut Djoko, penggunaan transportasi umum oleh pejabat bisa membantu mereka merasakan secara langsung kondisi yang dialami masyarakat sehari-hari dalam hal transportasi. Dia juga berpendapat bahwa penggunaan pengawalan kendaraan atau patwal semestinya hanya dilakukan oleh presiden dan wakil presiden. "Dengan lebih dari 100-an kendaraan yang dikawal polisi setiap hari menuju tempat aktivitas, lalu lintas di Jakarta semakin macet dan menyebabkan pengguna jalan stres dengan sirine kendaraan patwal," ujarnya.

Ketika diminta tanggapan tentang usulan ini, sejumlah pejabat mengutarakan pandangan mereka. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyambut positif gagasan tersebut. Bahlil, yang memiliki pengalaman sebagai sopir angkot di masa lalu, mengatakan, "Jadi nanti gue jelasin bagaimana cara naik angkot yang benar. Bagi saya, jangan diajarin dengan itu. Karena memang itu ilmu saya."

Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Christina Aryani, juga menyatakan dukungannya terhadap penggunaan transportasi umum. Dia mencatat kemudahan yang ditawarkan transportasi umum saat ini di Jakarta. "Kalau dulu kan kita ribet untuk pergi ke stasiun dan lain-lain, tapi sekarang kan udah sangat mudah. Jadi memang nggak ada yang salah dengan transportasi umum," jelas Christina. Dia menekankan bahwa transportasi umum bisa lebih menghemat waktu ketika menghadapi kemacetan lalu lintas.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, memiliki pandangan lain. Jika tujuan penggunaan transportasi umum adalah untuk mengurangi pengawalan, ia lebih memilih menggunakan motor karena lebih praktis dan cepat. "Sebetulnya kalau tujuannya malah untuk itu (menghilangkan pengawalan), sekali-sekali naik sepeda motor, saya malah lebih setuju," ungkap Nusron. Ia juga menyarankan berjalan kaki untuk perjalanan yang tidak terlalu jauh.

Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), mengutarakan keinginannya untuk menggunakan sepeda sebagai alternatif. "Nanti kita coba dulu ya, sudah lama nggak sepedaan semoga masih kuat he-he," ujarnya sambil bercanda.

Menteri Koordinator Bidang Pangan RI, Zulkifli Hasan, menyatakan tidak keberatan menggunakan transportasi umum. Namun, ia memberikan catatan bahwa kepraktisan dan efisiensi waktu harus tetap menjadi pertimbangan saat jadwal kegiatan sangat padat. "Jadi bukan buat gaya-gayaan. Kalau perlu cepat, baru. Kalau nggak, kita juga bisa sambil lari, bisa naik ojek, tidak ada masalah," kata Zulkifli.

Fenomena ini mencerminkan betapa pentingnya pejabat publik untuk lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Di sisi lain, usulan ini tidak hanya tentang efisiensi transportasi tetapi juga tentang simbol solidaritas dengan warga yang sehari-harinya mengandalkan transportasi umum. Pejabat yang menggunakan moda transportasi ini mungkin dapat memberikan dampak positif tidak hanya dari segi kemacetan tetapi juga dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemegang jabatan publik.

Implementasi ini tentu memerlukan komitmen nyata dari berbagai pihak, serta kesadaran bahwa publik menilai tindakan pejabat tidak hanya dari kebijakan tetapi juga dari keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, gagasan membiasakan pejabat menggunakan transportasi umum dapat menjadi langkah awal menuju perubahan budaya birokrasi yang lebih inklusif dan berempati.

Terkini