Kebijakan Kartu Kendali BBM di Batam: Tantangan Kolaborasi dan Efisiensi Distribusi

Jumat, 24 Januari 2025 | 09:42:32 WIB
Kebijakan Kartu Kendali BBM di Batam: Tantangan Kolaborasi dan Efisiensi Distribusi

Kebijakan baru yang diajukan Pemerintah Kota Batam terkait penerapan kartu kendali Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, yang dikenal dengan Fuel Card 5.0, telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat dan akademisi. Kebijakan yang dijadwalkan mulai berlaku pada Maret 2025 ini menjadi sorotan utama di Kota Batam, di mana banyak pihak telah menyampaikan kritikan terhadap implementasinya. Isu ini menjadi topik panas dalam diskusi publik dan media, mendorong peninjauan lebih lanjut terhadap kebijakan yang berpotensi menyebabkan perubahan signifikan dalam distribusi BBM bersubsidi.

Kritik Akademisi Terhadap Keterlibatan Pemkot dalam Distribusi BBM

Rahmayandi Mulda, seorang akademisi sekaligus pengamat kebijakan publik dari Universitas Kepulauan Riau (Unrika), mengungkapkan keprihatinannya terhadap langkah Pemkot Batam dalam pengurusan distribusi BBM bersubsidi yang sejatinya merupakan kewenangan Pertamina. Menurutnya, kebijakan Fuel Card 5.0 mencerminkan upaya Pemkot untuk mengintervensi pengelolaan BBM yang seharusnya berada di bawah kendali Pertamina.

"Kalau dilihat dari aturannya, Pemko terindikasi terlalu jauh mengurusi perdagangan BBM. Padahal, itu sepenuhnya menjadi kewenangan Pertamina untuk mengontrol pasokan dan penjualan BBM," ujar Rahmayandi saat dikonfirmasi pada Kamis malam, 23 Januari 2025.

Ia menekankan bahwa langkah ini tidak hanya menimbulkan kerancuan dalam wewenang, tetapi juga berpotensi menambah beban masyarakat. Implementasi kebijakan ini tanpa koordinasi yang matang dengan Pertamina dapat menciptakan kekacauan dalam distribusi BBM bersubsidi, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi konsumen yang benar-benar membutuhkan.

Potensi Konflik Kepentingan dalam Kebijakan BBM

Salah satu aspek yang dikritisi oleh Rahmayandi adalah kemungkinan konflik kepentingan dalam kebijakan ini. Ia mempertanyakan motivasi di balik penerapan Fuel Card 5.0, yang tampaknya lebih berfokus pada pencarian keuntungan daripada meningkatkan efisiensi distribusi BBM bersubsidi. Ketika langkah ini terkesan lebih komersial dibandingkan dengan pelayanan, maka dampak yang dirasakan masyarakat bisa jauh dari tujuan pemberdayaan ekonomi yang seharusnya.

"Kebijakan ini memperlihatkan kurangnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Pertamina. Hal ini jelas berpotensi merugikan masyarakat," tambahnya.

Pandangan Legislatif Terhadap Kebijakan Fuel Card 5.0

Tak hanya dari kalangan akademisi, kritik juga datang dari sekretaris Komisi I DPRD Kota Batam, Anwar Anas, yang secara tegas menolak kebijakan ini. Menurutnya, penerapan Fuel Card 5.0 bisa menjadi hambatan baru bagi masyarakat, mengingat proses dan regulasi tambahannya yang dianggap merepotkan.

"Barcode Pertamina yang sudah diterapkan saat ini sebenarnya sudah cukup untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Kenapa harus menambah regulasi baru yang terkesan mengada-ada?" ujar Anwar.

Anwar juga mengingatkan tentang potensi masalah hukum yang mungkin timbul mengingat kebijakan tersebut hanya didasarkan pada surat edaran Wali Kota tanpa landasan hukum kuat. Ia menekankan kemungkinan penyalahgunaan wewenang dan menyarankan agar kebijakan yang tidak solid ini segera dikaji ulang.

"Kami khawatir ini bisa menjadi bentuk penyalahgunaan wewenang. Aturan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat sangat berbahaya," ungkapnya.

Kritik Terhadap Kemitraan dengan Bank Swasta

Selain itu, Anwar mempertanyakan keputusan Pemkot untuk bekerja sama dengan tiga bank swasta dalam penerapan kebijakan ini, alih-alih melibatkan Bank Riau Kepri, yang dianggap lebih memiliki kesetiaan regional dan tanggung jawab sosial kepada masyarakat setempat.

"Kami memiliki Bank Riau Kepri. Mengapa tidak menggunakan bank ini saja? Bagaimana nanti dengan kontribusi CSR-nya?" lanjut Anwar.

Menurut Anwar, ketidakjelasan dalam menentukan mitra layanan finansial dapat menimbulkan pertanyaan tentang integritas kebijakan ini dan bagaimana keuntungan sosial dan ekonomi akan didistribusikan.

Peninjauan dan Solusi untuk Kebijakan yang Lebih Efisien

Dalam konteks kritikan yang cukup kuat dari publik dan kalangan pengamat, desakan untuk mengkaji ulang kebijakan ini semakin besar. Fraksi Gerindra, melalui Anwar Anas, telah secara resmi meminta Gustian Riau, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batam, untuk melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan ini.

"Kami tidak melihat kebijakan ini sebagai terobosan," tegasnya, menyiratkan perlunya pendekatan yang lebih inovatif dan efektif dalam penyelesaian masalah distribusi BBM bersubsidi.

Secara keseluruhan, suara kritik ini menyoroti perlunya sinergi yang lebih baik antara pemerintah daerah, pihak legislatif, dan Pertamina dalam menciptakan sistem distribusi BBM bersubsidi yang tidak hanya efisien tetapi juga adil bagi masyarakat. Kolaborasi dan koordinasi yang lebih erat antara pihak-pihak terkait dapat menjadi kunci dalam merumuskan kebijakan yang inklusif, berlandaskan hukum, dan membawa manfaat nyata bagi masyarakat Batam.

Terkini