Sejarah Tari Bedhaya, Makna Filosofis, dan Koreografinya

Bru
Selasa, 12 Agustus 2025 | 09:25:21 WIB
sejarah Tari Bedhaya

Sejarah Tari Bedhaya dimulai dari keberadaannya yang tidak dapat disamakan dengan jenis tarian lain yang bisa ditampilkan kapan saja. 

Di Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di wilayah Surakarta, terdapat sebuah tarian yang hanya dapat dipentaskan dalam momen-momen tertentu dengan mengikuti sejumlah ketentuan. 

Baik para penarinya maupun penonton yang hadir dalam pertunjukannya diwajibkan menaati aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. 

Tarian tersebut adalah Bedhaya Ketawang, sebuah bentuk kesenian yang memiliki nilai khusus dan tidak bisa dipentaskan secara sembarangan.

Tari Bedhaya Ketawang dikenal sebagai salah satu tarian keraton yang sakral dan dianggap sebagai lambang kebesaran seorang raja. 

Tarian ini memiliki makna mendalam dan berkaitan erat dengan tradisi adat, unsur religius, serta kisah asmara antara Raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul. 

Unsur spiritual dan simbolik yang melekat di dalamnya menjadikan tarian ini sangat dihormati dan dijaga keasliannya.

Beksan Bedhaya Ketawang merupakan tarian pusaka yang hanya ditampilkan dalam acara penobatan atau peringatan kenaikan takhta raja, yang dikenal sebagai Tinggalandalem Jumenengan ISKS Paku Buwana. 

Sejarah Tari Bedhaya ini berawal dari kisah Panembahan Senopati yang dalam pertapaannya bertemu dan menjalin hubungan dengan Ratu Kencanasari, yang lebih dikenal dengan nama Kanjeng Ratu Kidul. 

Pertemuan tersebut menjadi titik awal lahirnya tarian Bedhaya Ketawang sebagai simbol spiritual dan budaya.

Menurut penjelasan dari buku Pembelajaran Seni Tari di Indonesia dan Mancanegara karya Arina Restian, nama "Bedhaya Ketawang" terdiri dari dua kata, yaitu bedhaya yang berarti penari wanita keraton, dan ketawang yang bermakna langit atau mendung di angkasa, yang menggambarkan sesuatu yang luhur dan mulia. 

Karena mengandung unsur spiritual yang tinggi, tarian ini dianggap suci dan sakral, mencerminkan keyakinan bahwa segala hal terjadi atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam konteks spiritual, ketawang melambangkan kemuliaan dan tempat kediaman para dewa. 

Tarian ini biasanya dibawakan oleh tujuh hingga sembilan penari perempuan yang mengenakan busana seragam dan bergerak mengikuti pola yang menyerupai gugusan bintang kalajengking. 

Berdasarkan kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul diyakini turut hadir dan menari bersama mereka sebagai penari ke-10, memperkuat nilai sakral dalam setiap pertunjukan.

Sejarah Tari Bedhaya

Terdapat sejumlah kisah legenda yang berkaitan dengan asal mula terciptanya tarian ini. 

Salah satunya menceritakan tentang Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa Kesultanan Mataram pada masa 1613 hingga 1645, yang tengah melakukan tapa atau semadi. 

Dalam keheningan proses spiritual tersebut, sang Sultan dikisahkan mendengar senandung halus atau tetembangan yang datang dari arah langit. Suara merdu itu membuatnya terpesona dan terkesan secara batin.

Usai menyelesaikan semadinya, Sultan Agung memanggil empat pengiringnya, yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. 

Kepada mereka, ia menceritakan pengalaman spiritual yang baru saja dialaminya. Terinspirasi oleh peristiwa gaib tersebut, Sultan Agung menciptakan sebuah karya tari yang kemudian diberi nama Bedhaya Ketawang.

Versi lain dari cerita ini juga menyebutkan bahwa Panembahan Senapati pernah mengalami pertemuan spiritual dalam pertapaannya dengan Ratu Kencanasari, yang lebih dikenal sebagai Kanjeng Ratu Kidul. 

Hubungan antara Panembahan Senapati dan sosok gaib tersebut diyakini sebagai latar awal lahirnya tarian ini.

Pasca penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua wilayah utama oleh Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. 

Harta kekayaan serta warisan budaya pun turut dibagi, yang mengakibatkan sebagian jatuh ke tangan Kesunanan Surakarta dan sebagian lainnya ke Kesultanan Yogyakarta.

Sejak saat itu, Bedhaya Ketawang secara resmi menjadi bagian dari kebudayaan Keraton Kesunanan Surakarta Hadiningrat. 

Hingga kini, tarian ini tetap dilestarikan dan ditampilkan dalam momen-momen penting, khususnya saat upacara penobatan maupun peringatan kenaikan takhta Sunan Surakarta (SISKS Pakubuwana), sebagaimana tercatat dalam sejarah Tari Bedhaya.

Seputar Tarian dan Makna Filosofis

Tari Bedhaya Ketawang merupakan jenis tarian kebesaran yang memiliki nilai kesakralan tinggi dan hanya dipentaskan dalam momen-momen istimewa seperti penobatan serta peringatan naik takhta raja di lingkungan Kesunanan Surakarta. 

Tarian ini memiliki tempat khusus di hati masyarakat maupun keluarga keraton karena dianggap suci dan sarat makna spiritual.

Asal mula tarian ini berkaitan dengan pengalaman spiritual Sultan Agung saat menjabat sebagai penguasa Kesultanan Mataram pada tahun 1613 hingga 1645. 

Dikisahkan bahwa saat melakukan semedi, Sultan Agung mendengar senandung merdu dari arah langit yang membuatnya sangat tersentuh. Setelah selesai bertapa, ia memanggil para pengawalnya untuk menceritakan pengalaman tersebut. 

Terinspirasi dari kejadian itu, beliau kemudian menciptakan sebuah tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang. 

Sementara itu, terdapat pula versi cerita lain yang menyebutkan bahwa Panembahan Senapati, dalam perenungannya, bertemu dan menjalin hubungan dengan Ratu Kencanasari, atau yang dikenal dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul. 

Kisah inilah yang kemudian diyakini menjadi latar lahirnya tarian tersebut. Setelah terjadinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, terjadi pembagian warisan budaya Kesultanan Mataram antara Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. 

Dalam perjanjian tersebut, selain pembagian wilayah kekuasaan, juga termasuk di dalamnya pembagian unsur budaya. Dari sinilah Tari Bedhaya Ketawang secara resmi menjadi bagian dari warisan budaya milik Kasunanan Surakarta. 

Hingga kini, tarian ini tetap ditampilkan dalam acara penobatan serta upacara memperingati naik takhtanya Sunan Surakarta.

Tarian ini menggambarkan kisah cinta antara Kanjeng Ratu Kidul dan raja-raja Mataram yang diwujudkan melalui gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Isi dari tembang yang mengiringi tarian mencerminkan isi hati dan perasaan sang Ratu kepada raja. 

Tari ini dibawakan oleh sembilan orang penari perempuan, dan menurut kepercayaan masyarakat, dalam setiap pertunjukannya Kanjeng Ratu Kidul diyakini hadir serta turut menari sebagai penari kesepuluh.

Karena memiliki status sebagai tarian sakral, terdapat sejumlah syarat khusus yang harus dipenuhi oleh para penarinya. Yang paling utama, setiap penari haruslah seorang gadis yang masih suci dan tidak sedang dalam kondisi haid. 

Apabila sedang haid, maka mereka harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan cara melakukan ritual berupa caos dhahar di Panggung Sangga Buwana yang berada di kompleks Keraton Surakarta. 

Proses ini biasanya juga disertai dengan puasa beberapa hari sebelum pementasan berlangsung. 

Kesucian para penari dianggap sangat penting, karena dipercaya bahwa jika masih terdapat kesalahan dalam gerakan, maka Kanjeng Ratu Kidul akan hadir saat latihan dan memberikan petunjuk.

Dalam pelaksanaannya, tarian ini diiringi oleh musik tradisional dengan irama gending ketawang gedhe dalam tangga nada pelog. Beberapa instrumen yang digunakan antara lain kethuk, kenong, gong, kendhang, dan kemanak. 

Tarian ini terdiri dari tiga babak atau adegan. Pada bagian tengah, iringan musik berganti dari pelog ke slendro sebanyak dua kali, lalu kembali ke pelog hingga tarian selesai.

Selain iringan musik, tarian ini juga disertai tembang yang mengisahkan ungkapan hati Kanjeng Ratu Kidul terhadap sang raja. Di awal pementasan, tembang yang dinyanyikan adalah Durma, lalu dilanjutkan dengan Ratnamulya. 

Saat penari memasuki kembali ruang pertunjukan utama, iringan musik dilengkapi dengan tambahan instrumen seperti gambang, rebab, gender, dan suling untuk memberikan suasana yang lebih harmonis dan menyentuh.

Kostum yang dikenakan oleh para penari merupakan pakaian pengantin adat Jawa, yaitu Dodot Ageng atau biasa dikenal sebagai Basahan. 

Gaya rambut yang digunakan adalah Gelung Bokor Mengkurep, yaitu bentuk sanggul yang lebih besar dibandingkan gaya gelung khas Yogyakarta. 

Aksesori yang dipakai meliputi centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, serta hiasan bunga yang menjuntai dari sanggul hingga ke dada bagian kanan, yang disebut tiba dhadha.

Tarian ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, melainkan juga sebagai perwujudan simbolis dari hubungan spiritual dan romantis antara Kanjeng Ratu Kidul dan para raja Mataram. 

Gerakan tangan, posisi tubuh, cara memegang properti seperti sondher, serta makna yang terkandung dalam setiap lirik lagu pengiring mencerminkan isi hati sang Ratu terhadap sosok raja. 

Setiap kali pementasan berlangsung, masyarakat mempercayai bahwa Kanjeng Ratu Kidul akan hadir secara gaib dan ikut menari sebagai penari ke-10.

Tarian ini diperagakan oleh sembilan penari perempuan yang dalam mitologi Jawa melambangkan sembilan arah mata angin. Masing-masing arah tersebut dipercaya dikuasai oleh sembilan dewa yang dikenal dengan sebutan Nawasanga. 

Maka dari itu, penggambaran sembilan penari dalam pertunjukan ini tidak hanya mencerminkan nilai estetika, tetapi juga membawa makna filosofis mendalam yang berkaitan dengan alam semesta.

Sebagai bagian dari tradisi sakral, setiap penari wajib memenuhi persyaratan utama yaitu harus berstatus sebagai gadis suci dan tidak sedang mengalami menstruasi.

Apabila ada penari yang sedang dalam kondisi tersebut, maka ia masih diperbolehkan menari dengan syarat melakukan permohonan izin kepada Kanjeng Ratu Kidul melalui ritual khusus yang disebut caos dhahar di Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta.

Syarat berikutnya yang harus dipenuhi oleh para penari adalah menjaga kesucian secara rohaniah. Untuk mencapainya, para penari menjalankan puasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. 

Aspek kesucian ini sangat dijaga karena diyakini bahwa apabila terdapat kesalahan dalam gerakan selama latihan, sosok Kanjeng Ratu Kidul akan datang secara gaib untuk membenarkan gerakan tersebut.

Tari Bedhaya Ketawang dibawakan oleh sembilan penari perempuan yang masing-masing memiliki nama serta simbolisasi tersendiri berdasarkan posisi dan maknanya. 

Penari pertama dinamakan Batak dan melambangkan pikiran serta jiwa. Penari kedua disebut Endhel Ajeg yang menjadi simbol dari hasrat atau keinginan hati. 

Penari ketiga, Endhel Weton, menyimbolkan tungkai kanan. Penari keempat yang disebut Apit Ngarep menggambarkan lengan kanan, sementara penari kelima bernama Apit Mburi melambangkan lengan kiri. 

Penari keenam, Apit Meneg, mengartikan tungkai kiri. Dua penari berikutnya, Gulu dan Dhada, masing-masing merepresentasikan tubuh atau badan. 

Terakhir, penari kesembilan disebut Buncit, yang memiliki makna simbolis sebagai alat kelamin serta menggambarkan konstelasi bintang, yang berarti langit atau tawang.

Busana yang dikenakan dalam pertunjukan ini adalah dodot ageng, juga dikenal dengan sebutan basahan, yakni pakaian tradisional yang lazim dipakai oleh pengantin perempuan Jawa. 

Selain pakaian tersebut, penari juga mengenakan tatanan rambut bergaya gelung bokor mengkurep, yaitu sanggul berukuran besar. 

Penampilan penari dilengkapi pula dengan berbagai hiasan berupa centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, serta rangkaian bunga melati yang disebut tiba dhadha, yang dipasang di sanggul dan menjuntai hingga ke dada sebelah kanan.

Busana yang digunakan dalam tarian ini memang sangat menyerupai pakaian pengantin khas Jawa, terutama karena penggunaan warna hijau yang dominan. 

Hal ini menjadi penegas bahwa tari Bedhaya Ketawang merupakan perwujudan dari cerita percintaan antara Kanjeng Ratu Kidul dan raja-raja dari Mataram.

Pada awal perkembangannya, durasi pementasan Bedhaya Ketawang berlangsung selama dua setengah jam. 

Namun, sejak masa pemerintahan Pakubuwana X, durasi pertunjukan ini mulai dipersingkat hingga akhirnya hanya berlangsung sekitar satu setengah jam. 

Musik yang mengiringi tarian ini disebut Gending Ketawang Gedhe, yang dimainkan dalam tangga nada pelog.

Peralatan gamelan yang digunakan untuk memainkan iringan musik ini terdiri dari lima instrumen utama, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak. Kelima instrumen ini sangat menentukan karakter irama dalam gending yang dimainkan. 

Tari Bedhaya Ketawang dibagi ke dalam tiga bagian atau babak. Di tengah-tengah pertunjukan, laras nada dari iringan gending berubah sementara menjadi slendro sebanyak dua kali, lalu kembali lagi ke pelog hingga tarian mencapai akhir.

Tembang pengiring yang dinyanyikan selama tarian ini juga memiliki susunan tertentu. Pada bagian awal, digunakan tembang Durma. Setelah itu, dilanjutkan dengan tembang Retnamulya. 

Saat para penari memasuki kembali ruang utama pertunjukan yang disebut Dalem Ageng Prabasuyasa, instrumen gamelan diperkuat dengan tambahan alat musik lainnya seperti rebab, gender, gambang, dan suling untuk menciptakan nuansa harmoni yang lebih dalam dan menyatu dengan suasana yang ingin dibangun dalam pertunjukan tersebut.

Makna Pola Lantai Tari Bedhaya

Sama seperti jenis tarian lainnya, tari Bedhaya Ketawang juga memiliki pola lantai yang khas. 

Beberapa pola yang digunakan dalam tarian ini meliputi pola lantai gawang monitor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, serta gawang tiga-tiga. 

Pola-pola tersebut sering disebut dengan istilah rakit lajur, yang merepresentasikan lima unsur penting dalam diri manusia, yakni cahaya, rasa, sukma, nafsu, dan perilaku.

Sebagai sebuah tarian yang bersifat sakral, ada sejumlah ketentuan khusus yang wajib dipatuhi oleh para penarinya. Kesembilan penari haruslah gadis yang masih suci dan tidak dalam kondisi haid. 

Apabila ada penari yang sedang menstruasi, ia wajib meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan cara melakukan caos dahar di panggung Sangga Buwana yang berada di dalam Keraton Surakarta. 

Sebagai bentuk penghormatan, penari tersebut juga harus menjalani puasa beberapa hari sebelum pementasan dimulai. 

Selama sesi latihan, dipercaya bahwa Kanjeng Ratu Kidul akan hadir dan memberikan isyarat apabila ada gerakan penari yang masih belum sempurna.

Koreografi Tari Bedhaya Ketawang

Sebagaimana diuraikan dalam buku Kagunan Sekar Padma: Kontinuitas dan Perkembangan Kesenian Tradisional di Yogyakarta Awal Abad XX karya Indra Fibiona dan Darto Harnoko, tarian Bedhaya Ketawang ditampilkan dengan iringan suara sinden dan alunan musik gamelan. 

Rangkaian gerakan dalam tarian ini dirancang secara teliti berdasarkan arahan dari pihak penguasa (dalam hal ini putra mahkota), dan dipersiapkan khusus untuk perhelatan-perhelatan penting di lingkungan keraton.

Ketelitian dalam penggarapan koreografi dan pengaturan musik mengisyaratkan pentingnya aspek ritual dalam seni pertunjukan ini. 

Struktur koreografi yang rumit dan berdurasi panjang, ditambah dengan peran gamelan serta sinden, memerlukan kerja sama yang selaras dari seluruh seniman yang terlibat.

Oleh karena itu, pelatihan rutin sangat diperlukan agar harmoni antar elemen bisa tercapai. Pada awalnya, pertunjukan berskala besar seperti ini hanya berlangsung di lingkungan Keraton Surakarta dan Yogyakarta. 

Namun, seiring waktu, pertunjukan tersebut juga mulai ditiru oleh kalangan pejabat tinggi di wilayah kadipaten.

Versi tertua dan dianggap paling suci dari tarian ini adalah Bedhaya Ketawang yang berasal dari Surakarta. Tarian inilah yang kemudian menjadi sumber inspirasi utama dari berbagai koreografi Bedhaya, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta. 

Salah satu penyebab penyebaran ini adalah adanya pernikahan antar keluarga keraton, yang membawa serta rombongan seniman pendherek dari masing-masing pihak.

Kisah di Balik Tari Bedhaya Ketawang

Merujuk pada karya tulis yang sama dari Indra Fibiona dan Darto Harnoko, tari ini menggambarkan kisah pertemuan antara Ratu Kidul dan Sultan di kawasan pantai, yang menjadi batas antara wilayah Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan milik Nyi Roro Kidul. 

Dalam pertemuan itu, keduanya saling terpikat satu sama lain. Sultan pun memutuskan untuk mengikuti Ratu Kidul ke kediamannya yang terletak di dasar laut. 

Mereka menjalani kehidupan bersama dalam waktu tertentu, hingga suatu ketika muncul roh Sunan Kalijaga yang memberi peringatan kepada sultan bahwa wanita yang ia nikahi sesungguhnya bukanlah manusia biasa. 

Hal ini terlihat dari kecantikan sang ratu yang begitu abadi dan sempurna, menyerupai paras gadis muda.

Pertemuan antara Sultan dan Ratu Kidul tersebut terjadi pada malam saat bulan purnama, membuat sang sultan terpukau oleh keelokan wajah sang ratu. 

Namun, Sunan Kalijaga menyadarkan sultan dengan memberikan wejangan bahwa ia memiliki tanggung jawab besar yang telah diabaikan, yaitu menjaga dan mengayomi rakyat serta kerajaannya.

Akhirnya, Sultan Agung memutuskan untuk meninggalkan Ratu Kidul. 

Kendati demikian, Ratu Kidul tetap memberikan perlindungan kepada Sultan Agung beserta seluruh keturunannya, khususnya saat Kerajaan Mataram berada dalam kondisi terancam.

Sebagai penutup, sejarah Tari Bedhaya menjadi warisan budaya yang sarat makna, mencerminkan nilai spiritual dan keanggunan dalam tradisi keraton yang tetap lestari hingga kini.

Terkini

Bisnis Desain Interior: Tips dan Peluang Menjanjikan

Rabu, 20 Agustus 2025 | 13:11:43 WIB

Emas Antam Hari Ini Rp1,89 Juta per Gram

Rabu, 20 Agustus 2025 | 13:16:16 WIB

Cara Mengaktifkan Akun GoPay yang Terblokir

Rabu, 20 Agustus 2025 | 13:44:37 WIB

ShopeePay Merchant: Mudah Daftar, Banyak Untung

Rabu, 20 Agustus 2025 | 13:55:34 WIB