JAKARTA - Di tengah sorotan terhadap ketimpangan akses energi dan dominasi energi fosil di Indonesia, ajang ESDM Event Mineral Festival pada 30–31 Juli 2025 di Hutan Kota Plataran Senayan menghadirkan momentum penting untuk merefleksikan arah kebijakan energi nasional. Mengangkat tema “Swasembada Energi untuk Masa Depan Indonesia”, acara ini tidak hanya menjadi ajang pameran, tetapi juga ruang diskusi untuk mewujudkan cita-cita besar: kemandirian energi yang adil dan berkelanjutan.
Gagasan besar yang kini dikedepankan pemerintah dalam kepemimpinan Presiden Prabowo adalah menjadi “Raja Energi Hijau Dunia”, melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan bioenergi. Namun, lebih dari sekadar ambisi geopolitik atau industrialisasi, upaya ini menyimpan satu urgensi utama: keadilan akses energi bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, penulis mengusulkan konsep “energi pencahayaan yang berkeadilan”, yakni prinsip bahwa energi harus menyinari semua tanpa kecuali—merata, ramah lingkungan, dan inklusif.
Energi Pencahayaan yang Berkeadilan: Sebuah Pilar untuk Masa Depan
Konsep “energi pencahayaan yang berkeadilan” sejatinya menjadi kerangka kerja moral dan teknokratik dalam merumuskan kebijakan energi di Indonesia. Ini bukan sekadar gagasan idealis, tetapi sebuah keharusan dalam menjawab tantangan nyata yang dihadapi bangsa: masih ada ribuan desa yang belum menikmati listrik secara layak.
Data yang beredar di berbagai sumber menunjukkan ketimpangan signifikan. Kementerian ESDM mencatat ada 12.669 desa yang belum terlistriki. Sementara itu, beberapa laporan lain menyebutkan terdapat sekitar 6.700 desa sulit dijangkau listrik dan 4.700 desa belum tersambung jaringan PLN. Fakta ini menunjukkan betapa akses energi masih menjadi persoalan yang belum tuntas, terutama di wilayah-wilayah tertinggal dan terisolasi.
Di sisi lain, meski pemerintah telah merilis Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 sebagai peta jalan transisi energi di sektor ketenagalistrikan, implementasinya masih jauh dari harapan. Pengembangan EBT seperti biomassa, bioenergi modern, panas bumi, dan tenaga surya masih minim prioritas. Justru, pemerintah masih bertumpu pada teknologi kontroversial seperti co-firing dan carbon capture storage (CCS) yang secara ekonomi dan ekologi belum tentu menguntungkan masyarakat luas.
Mewujudkan Swasembada Energi yang Tidak Diskriminatif
Mengusung tema besar “Swasembada Energi untuk Masa Depan Indonesia”, ESDM Mineral Festival tahun ini sesungguhnya mendorong kita untuk berpikir ulang: apakah swasembada hanya berarti produksi energi yang tinggi? Atau justru tentang bagaimana memastikan energi tersebut bisa dinikmati oleh seluruh rakyat, tanpa terkecuali?
Keadilan energi menuntut akses yang adil, bukan hanya efisiensi teknis atau keekonomian proyek. Tantangan besar yang masih dihadapi adalah meningkatkan pasokan energi untuk masyarakat yang belum terjangkau, khususnya di daerah terpencil, dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.
Swasembada energi hanya akan menjadi angan jika pemerintah tak segera menanggulangi ketimpangan distribusi serta terus bergantung pada energi tak terbarukan. Oleh karena itu, transisi energi harus bersifat menyeluruh: dari sisi sumber energi, infrastruktur, hingga pola konsumsi masyarakat. Pembangunan energi nasional tidak boleh meninggalkan kelompok marginal, dan sebaliknya justru harus menguatkan mereka.
Perlu Arah Kebijakan yang Berpihak
Perjalanan menuju keadilan energi tidak cukup hanya dengan regulasi teknis. Pemerintah perlu menyiapkan perangkat kebijakan yang berpihak pada kelompok rentan dan wilayah tertinggal. Ini termasuk perlindungan sosial bagi pekerja yang terdampak transisi energi, partisipasi publik dalam perumusan kebijakan, serta pemberdayaan komunitas lokal dalam pembangunan energi terbarukan.
Desentralisasi dan kedaulatan energi juga harus diperkuat. Proyek-proyek energi berbasis komunitas, seperti pembangkit listrik tenaga surya di desa atau pemanfaatan biomassa lokal, bisa menjadi solusi jangka panjang yang tidak hanya ramah lingkungan tapi juga berkeadilan sosial. Pemerintah juga perlu mendesain ulang insentif fiskal untuk mendukung transisi ini—melalui pajak karbon, pengalihan subsidi energi fosil, serta pemanfaatan royalti batu bara secara transparan untuk energi hijau.
Peran Strategis Kementerian ESDM
Dalam kerangka besar ini, Kementerian ESDM memegang kunci transformasi. Perannya bukan sekadar menjalankan mandat teknis, tapi juga membangun komitmen moral dalam menyusun kebijakan yang berdampak pada keadilan sosial. ESDM harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan infrastruktur energi di daerah terpencil, menyediakan subsidi energi bagi kelompok miskin, serta mengembangkan EBT yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
Tak kalah penting, ESDM perlu memperluas edukasi publik dan kampanye kesadaran tentang pentingnya keadilan energi dan keberlanjutan lingkungan. Dengan pendekatan yang lebih humanis dan kolaboratif, kementerian ini dapat menggandeng pemda, LSM, pelaku usaha, dan masyarakat untuk bersama-sama menyukseskan transisi energi hijau.
Menyalakan Harapan dari Cahaya yang Adil
Transformasi energi di Indonesia tidak hanya soal mengganti batu bara dengan tenaga surya. Ini adalah soal bagaimana menerangi setiap pelosok negeri dengan keadilan, membuka akses setara bagi semua warga negara, serta menyelamatkan bumi dengan langkah yang bijak.
ESDM Event Mineral Festival 2025 menjadi momentum strategis untuk menyuarakan kembali pentingnya keadilan energi dalam setiap kebijakan yang diambil. Indonesia tidak hanya butuh menjadi produsen energi hijau terbesar, tapi juga harus menjadi bangsa yang adil dalam menerangi warganya. Dan dari cahaya yang adil itu, masa depan energi Indonesia akan mulai bersinar.