Strict parents adalah orang tua yang menetapkan aturan ketat dan memberi banyak batasan dalam kehidupan anak-anak mereka sehari-hari.
Dalam kehidupan saat ini, tidak sedikit anak yang merasa bahwa orang tua terlalu mengontrol dan membatasi ruang gerak mereka.
Keinginan untuk mengekspresikan diri sering kali dibatasi, bahkan kegiatan sederhana seperti bermain bersama teman pun kadang tidak diperbolehkan atau dibatasi dengan berbagai alasan.
- Baca Juga Tablet Samsung Murah Mulai Rp1 Jutaan
Sikap seperti inilah yang melahirkan istilah strict parents. Sebelum memahami lebih jauh tentang sebutan tersebut, penting untuk mengenali konsep atau pemahaman di baliknya agar tidak salah dalam menilai sikap orang tua.
Strict parents adalah cerminan pola asuh yang penuh kendali dan aturan ketat, yang sering kali dianggap membatasi kebebasan anak dalam mengeksplorasi dirinya sendiri.
Strict Parents adalah
Strict parents adalah tipe orang tua yang menerapkan pola pengasuhan dengan aturan ketat, menetapkan standar tinggi, serta memberikan tuntutan besar terhadap anak-anak mereka.
Berdasarkan penjelasan dari Cambridge Dictionary, kata "strict" memiliki beberapa arti. Salah satunya adalah membatasi kebebasan seseorang dengan keras, serta cenderung memberikan hukuman berat jika orang tersebut tidak menaati aturan.
Selain itu, kata ini juga dapat merujuk pada seseorang yang mematuhi peraturan atau prinsip dengan sangat ketat.
Sementara itu, Merriam-Webster mendefinisikan "strict" sebagai sesuatu yang sangat ketat atau kaku.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa strict parents menggambarkan sosok orang tua yang tegas, membatasi secara keras, dan bahkan bisa menjatuhkan hukuman berat apabila anak tidak patuh terhadap perintah atau aturan yang telah dibuat.
Dalam ranah psikologi, orang tua yang masuk dalam kategori ini biasanya menganut pola asuh otoriter. Mereka menuntut banyak hal dari anak-anaknya, tetapi tidak memberikan respons atau dukungan emosional yang memadai.
Gaya pengasuhan ini sarat dengan aturan dan larangan, serta cenderung menunjukkan sikap yang kaku dalam menghadapi perilaku anak.
Orang tua yang termasuk dalam kategori ini biasanya memiliki ekspektasi tinggi dan menargetkan pencapaian besar dari anak-anaknya.
Jika sang anak tidak berhasil memenuhi standar yang ditetapkan, maka bukan hal yang aneh jika mereka menerima hukuman atau konsekuensi yang menyulitkan.
Dikutip dari laman Tokopedia.com, karakteristik orang tua dengan pola asuh seperti ini adalah bersikap dingin, tidak mendukung, serta memberikan tuntutan tinggi terhadap anak. Mereka seringkali menerapkan aturan secara sepihak dan sangat ketat.
Dalam lingkungan seperti ini, anak-anak tidak diberi ruang untuk menyampaikan pendapat atau mempertanyakan keputusan yang diambil orang tua atas hidup mereka.
Akibat dari gaya pengasuhan ini, anak menjadi patuh bukan karena memahami alasan di balik aturan, tetapi karena takut akan hukuman.
Ketika dewasa, anak yang dibesarkan dengan pola asuh semacam ini cenderung kesulitan mengekspresikan pendapat dan menghadapi tantangan dalam hal komunikasi dan negosiasi di kehidupan sosial.
Ciri-ciri Strict Parents
Orang tua yang menganut pola asuh penuh aturan dan batasan dapat dikenali dari berbagai cara mereka dalam membesarkan anak.
Umumnya, fokus utama mereka adalah memastikan anak patuh terhadap otoritas yang ada, sementara nilai seperti pengendalian diri dan kemampuan mengelola perilaku sering kali tidak menjadi prioritas dalam pengasuhan mereka.
Mengacu pada informasi dari beberapa sumber, berikut adalah karakteristik yang biasanya ditemukan pada orang tua dengan pendekatan pengasuhan seperti ini:
Banyak Tuntutan, Minim Respons
Mereka biasanya menetapkan berbagai aturan untuk anak-anaknya, yang mencakup hampir semua aspek kehidupan—baik di rumah maupun di tempat umum.
Aturan-aturan ini tidak hanya tertulis, tapi juga banyak yang tidak secara eksplisit dijelaskan. Anak-anak diharapkan tahu dan mematuhi semua peraturan tersebut tanpa perlu arahan yang jelas.
Sikap Dingin dan Kurang Perhatian
Tipe orang tua seperti ini kerap menunjukkan perilaku yang jauh dari kehangatan emosional. Mereka lebih sering mengkritik atau membentak dibanding memberi dukungan atau pujian.
Kedisiplinan dianggap lebih penting daripada kesenangan atau kebutuhan emosional anak. Tujuan utamanya adalah membuat anak patuh tanpa perlu mempertimbangkan keinginan atau perasaan mereka.
Sering Memberikan Hukuman
Hukuman, termasuk yang bersifat fisik, bukanlah hal yang asing bagi pola asuh ini. Setiap kali aturan dilanggar, orang tua langsung menjatuhkan hukuman tanpa mencoba menjelaskan alasan di balik aturan tersebut.
Memberi pemahaman kepada anak dianggap tidak perlu dibanding langsung memberi konsekuensi atas pelanggaran.
Anak Tidak Punya Ruang untuk Memilih
Dalam sistem pengasuhan seperti ini, anak-anak jarang atau bahkan tidak pernah diberikan pilihan. Orang tua menetapkan keputusan dan jalan hidup yang harus diikuti. Hampir tidak ada ruang untuk berdiskusi atau melakukan negosiasi.
Semua ditentukan oleh orang tua dengan alasan bahwa mereka tahu yang terbaik dan tidak akan menyesatkan anaknya.
Enggan Memberi Alasan di Balik Aturan
Meski menginginkan anak berperilaku baik dan menjauhi hal-hal buruk, mereka jarang sekali menjelaskan alasan di balik peraturan tersebut.
Ketidaksabaran membuat mereka lebih memilih menciptakan aturan ketat dan menuntut kepatuhan penuh tanpa pertanyaan. Memberikan pemahaman atau diskusi dianggap sebagai sesuatu yang membuang waktu.
Pola asuh seperti ini mencerminkan pendekatan yang kaku, di mana anak-anak dituntut untuk patuh tanpa diberi ruang untuk tumbuh dengan pemahaman dan kesadaran atas tindakannya sendiri.
Kurangnya Kepercayaan pada Anak
Orang tua dengan pendekatan seperti ini umumnya ragu bahwa anak mampu mengambil keputusan atau menentukan pilihan yang baik. Akibatnya, mereka memberi sedikit sekali ruang kebebasan atau bahkan tidak memberikannya sama sekali.
Tujuan mereka bukan membiarkan anak belajar dari konsekuensi pilihan yang dibuat, melainkan mengarahkan semua tindakan anak agar tidak sampai melakukan kesalahan.
Menolak Adanya Proses Negosiasi
Segala sesuatu dipandang secara kaku dan mutlak. Tidak ada ruang untuk kompromi.
Anak-anak yang tumbuh dalam pengasuhan seperti ini biasanya tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat ataupun terlibat dalam pengambilan keputusan, termasuk hal yang menyangkut diri mereka sendiri.
Menggunakan Ucapan yang Memalukan atau Mengancam
Tipe orang tua ini cenderung memakai kata-kata yang menyudutkan, merendahkan, atau mempermalukan anak, termasuk saat berada di depan orang lain. Contohnya, membandingkan anak dengan orang lain sebagai bentuk celaan.
Mereka juga sering kali melontarkan ancaman agar anak merasa takut dan tidak berani melanggar aturan.
Minimnya Waktu Luang untuk Anak
Kegiatan santai seperti bermain bersama teman kerap kali dianggap tidak berguna dan berpotensi memberi pengaruh negatif. Oleh karena itu, memberikan izin untuk bermain menjadi hal yang sangat sulit.
Padahal, bagi anak dan remaja, waktu luang seperti itu merupakan bagian penting dalam proses tumbuh kembang mereka.
Terlalu Banyak Aturan
Anak yang hidup di bawah pengawasan ketat seperti ini dihadapkan dengan banyak sekali aturan. Hal ini membuat mereka kesulitan mengeksplorasi diri dan menjadi terlalu terbiasa dengan kepatuhan.
Ketika dihadapkan pada situasi baru atau penuh tekanan, mereka cenderung tidak mampu mengambil keputusan dengan mandiri.
Idealnya, orang tua cukup menetapkan beberapa aturan penting yang diiringi dengan konsekuensi yang jelas. Dengan begitu, anak bisa belajar berpikir kritis dan mempertimbangkan risiko dari setiap tindakan yang diambil.
Berdasarkan ulasan dari salah satu sumber terpercaya, ciri-ciri lain dari orang tua dengan pola pengasuhan seperti ini dapat terlihat melalui hal-hal berikut:
- Kegiatan menyenangkan bersama keluarga nyaris tidak pernah dilakukan demi menjaga jarak wibawa antara orang tua dan anak.
- Aturan ditetapkan tanpa mempertimbangkan pandangan atau perasaan anak, dan tidak ada ruang untuk diskusi.
- Jika anak melanggar aturan, respon yang diberikan adalah hukuman, perlakuan diam, atau penarikan kasih sayang untuk waktu tertentu.
- Ketidaksabaran dan ketidaktoleransian terhadap kesalahan, bahkan untuk hal-hal kecil seperti melewatkan satu panggilan telepon, bisa berujung pada hukuman berat seperti menyita ponsel anak.
- Tidak pernah ada canda tawa atau momen santai antara orang tua dan anak, dan suasana rumah cenderung kaku.
- Anak merasa tidak bebas atau nyaman ketika berada di dekat orang tua, berbeda dengan saat mereka bersama teman-teman.
- Ketidaksediaan menerima perbedaan pendapat atau selera, seperti memberi hukuman saat anak mencoba berekspresi lewat penampilan.
- Remaja jarang diberi izin untuk keluar rumah, berbeda dengan teman-teman sebayanya.
- Anak menjadi sering berbohong demi menghindari kemarahan atau larangan dari orang tua.
- Tidak pernah ada percakapan mendalam antara anak dan orang tua. Hubungan di rumah hanya terbatas pada hal-hal formal, seperti urusan sekolah.
- Anak lebih nyaman berada di luar rumah dan bahkan mencari berbagai cara agar bisa terus berada di luar.
- Anak memilih menjaga jarak dan menghindari interaksi langsung dengan orang tua sejauh mungkin.
Semua ciri tersebut menggambarkan pola pengasuhan yang sangat kaku dan tertutup terhadap komunikasi, yang dalam jangka panjang dapat memengaruhi kondisi emosional dan sosial anak.
Dampak Strict Parents pada Anak
Pola pengasuhan dengan pendekatan yang sangat ketat membawa dampak besar terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
Berikut ini adalah beberapa dampak negatif dari metode pengasuhan tersebut, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber terpercaya:
- Pengasuhan yang mengedepankan kendali berlebihan dapat menghalangi anak untuk belajar disiplin secara mandiri dan memahami arti tanggung jawab.
Meskipun metode ini mungkin efektif dalam mengendalikan perilaku dalam jangka pendek, hal itu tidak membantu anak mengembangkan kemampuan mengatur dirinya sendiri.
Justru, pengekangan yang tidak disertai kasih sayang dapat memunculkan keengganan dalam diri anak untuk bertanggung jawab.
Disiplin sejati berasal dari perhatian dan kasih sayang orang tua, bukan dari kontrol yang ketat. Tak heran jika anak merasa tertekan dan menolak aturan yang diterapkan tanpa empati.
- Pola asuh otoriter yang menitikberatkan pada kekangan tanpa adanya pemahaman emosional justru dapat membuat anak belajar untuk melakukan tindakan intimidatif.
Anak-anak cenderung meniru perilaku yang mereka lihat di rumah. Jika orang tua sering membentak atau menggunakan kekerasan, kemungkinan besar anak akan mengadopsi cara yang sama dalam menghadapi orang lain.
- Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan banyak hukuman dan disiplin keras lebih rentan mengalami perasaan marah berlebihan atau bahkan depresi.
Pola asuh semacam ini menyampaikan pesan bahwa bagian tertentu dari diri anak tidak bisa diterima, sementara di saat bersamaan mereka tidak diberikan bimbingan untuk mengelola emosi.
Akibatnya, mereka merasa kesepian dan harus mencari sendiri cara menghadapi perasaan sulit yang muncul.
- Ketika anak dibesarkan dengan pendekatan yang mengagungkan kekuasaan dan otoritas, mereka belajar bahwa kebenaran hanya milik pihak yang berkuasa.
Anak memang bisa menjadi patuh, namun tidak terbiasa berpikir kritis atau mengambil tanggung jawab pribadi. Mereka bisa saja menghindar dari tanggung jawab dengan alasan hanya menjalankan perintah.
- Studi menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan aturan yang terlalu kaku cenderung menunjukkan perilaku memberontak, terutama saat memasuki usia remaja dan dewasa.
Emosi yang terpendam akibat pengekangan dapat berubah menjadi sikap menentang yang muncul kemudian hari.
- Salah satu dampak lainnya adalah anak bisa menjadi pembohong ulung. Dalam lingkungan yang menuntut kesempurnaan dan memberi banyak hukuman, anak belajar untuk menyembunyikan kesalahan daripada memperbaikinya, demi menghindari konsekuensi yang berat.
Pola asuh yang mengandalkan otoritas dan hukuman juga berisiko merusak ikatan emosional antara orang tua dan anak.
Ketika hubungan diwarnai dengan ketegangan dan kurangnya empati, ikatan alami yang seharusnya mempererat justru melemah. Hubungan menjadi dingin dan penuh jarak, yang pada akhirnya berdampak buruk pada kedekatan emosional antara keduanya.
Alasan Orang Tua Menjadi Strict Parents
Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan ketat tidak serta-merta bersikap demikian tanpa alasan. Terdapat sejumlah latar belakang yang memengaruhi terbentuknya perilaku ini.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber tepercaya, berikut beberapa faktor yang melatarbelakangi pola asuh yang keras:
Pengalaman Masa Kecil yang Serupa
Salah satu alasan utama mengapa seseorang menerapkan pola pengasuhan ketat adalah karena mereka pernah mengalami hal serupa di masa kecil.
Dalam sebuah artikel ilmiah yang terbit pada tahun 2012 di jurnal Child Maltreatment, disebutkan bahwa orang tua yang dibesarkan dengan pendekatan otoriter memiliki kecenderungan besar untuk mengadopsi pola yang sama dalam mendidik anak.
Mereka meyakini bahwa cara tersebut merupakan metode terbaik untuk mendidik dan membentuk karakter anak, termasuk dalam hal kedisiplinan.
Gaya asuh tersebut dianggap efektif karena pernah mereka alami sendiri dan dipercaya mampu menghasilkan perilaku yang diharapkan.
Tingkat Neurotisisme yang Tinggi
Faktor lain yang turut memengaruhi adalah kondisi kepribadian yang berkaitan dengan kestabilan emosi.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Iranian Journal of Psychiatry tahun 2018 menunjukkan bahwa individu yang cenderung bersikap otoriter dalam mengasuh anak umumnya memiliki tingkat neurotisisme yang tinggi.
Neurotisisme sendiri adalah dimensi kepribadian yang ditandai dengan mudahnya mengalami emosi negatif seperti kecemasan, stres, keraguan, hingga depresi.
Tingkat kestabilan emosi yang rendah dapat mendorong orang tua untuk mengendalikan segala sesuatu secara ketat demi merasa lebih aman atau menghindari ketidakpastian.
Ciri Kepribadian yang Kurang Positif
Setiap orang memiliki sifat bawaan yang membentuk cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Beberapa orang dikenal hangat, terbuka, dan penuh empati.
Namun, ada pula yang memiliki kecenderungan bersikap tertutup, kaku, dan negatif terhadap lingkungan sekitar.
Orang tua dengan kepribadian yang cenderung kurang menyenangkan kerap kali mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat, termasuk dengan anak-anak mereka sendiri.
Kurangnya empati dan pola pikir yang pesimis membuat mereka lebih rentan menerapkan pendekatan pengasuhan yang keras dan penuh batasan.
Dengan memahami latar belakang ini, kita bisa melihat bahwa pola asuh otoriter tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh pengalaman hidup, kondisi emosional, dan sifat pribadi yang melekat pada diri orang tua.
Sebagai penutup, strict parents adalah pola asuh yang terbentuk dari berbagai faktor, dan pemahaman mendalam dapat membantu membangun hubungan yang lebih sehat dengan anak.