JAKARTA - Upaya pemerintah dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan kembali mendapat sorotan. Kali ini, fokus diarahkan pada sektor panas bumi yang dinilai memiliki potensi besar namun belum tergarap secara optimal. Salah satu strategi utama yang tengah dikaji adalah revisi regulasi sebagai bentuk penyempurnaan kerangka hukum yang lebih bersahabat bagi investor.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang menyiapkan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Revisi ini bukan sekadar formalitas, melainkan bertujuan untuk meningkatkan daya tarik investasi melalui insentif fiskal dan penyederhanaan birokrasi yang selama ini kerap dianggap menghambat percepatan proyek.
Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), menyampaikan bahwa beban fiskal menjadi salah satu penyebab utama rendahnya keuntungan yang diperoleh dari proyek panas bumi. “Internal rate of return (IRR) proyek panas bumi kita masih tergolong rendah, sekitar 8 hingga 9 persen. Salah satu cara untuk memperbaikinya adalah dengan menghapus pajak tubuh bumi yang masih berlaku saat ini,” jelasnya.
- Baca Juga Ekspor Minyak Sawit RI Didorong Tarif AS
Menurutnya, penghapusan pajak tersebut tidak hanya akan meringankan beban pelaku usaha, tetapi juga berfungsi sebagai sinyal positif bahwa pemerintah berkomitmen untuk mendukung pertumbuhan sektor ini. Langkah ini juga akan membuat sektor panas bumi lebih kompetitif dibandingkan dengan proyek-proyek energi lain, baik konvensional maupun terbarukan.
Selain pajak tubuh bumi, pemerintah juga membuka ruang diskusi untuk mengkaji ulang dua aspek fiskal lainnya yang krusial: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Masuk. Kedua komponen tersebut dinilai memiliki potensi menekan efisiensi biaya investasi. Dalam hal ini, sinergi dengan Kementerian Keuangan menjadi penting untuk menyelaraskan kebijakan lintas sektoral.
Revisi PP 7/2017 ini mencakup cukup banyak aspek. “Dari total isi PP 7/2017, setidaknya terdapat 17 poin yang masuk dalam daftar revisi pemerintah,” kata Eniya. Revisi menyeluruh ini dimaksudkan untuk membentuk iklim usaha yang lebih kompetitif dan mempercepat pengembangan sektor panas bumi sebagai bagian dari strategi besar transisi energi nasional.
Langkah ini dipandang selaras dengan agenda besar pemerintah dalam memperkuat bauran energi dari sumber-sumber terbarukan. Saat ini, dominasi energi fosil dalam sistem kelistrikan nasional masih tinggi. Oleh karena itu, keberadaan energi panas bumi sebagai energi bersih dan andal harus terus didorong.
Sebagai catatan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia. Namun ironisnya, pemanfaatan potensi tersebut masih terbatas. Salah satu hambatan klasik adalah persoalan regulasi dan keekonomian proyek, yang kini tengah dibenahi.
“Panas bumi memiliki potensi besar, dan sudah seharusnya kita mendukungnya dengan regulasi yang adaptif dan berpihak pada investasi,” tegas Eniya.
Di tengah upaya global menurunkan emisi karbon, Indonesia menghadapi tantangan untuk tidak hanya mengganti energi fosil, tetapi juga menciptakan sistem energi yang tangguh dan berkelanjutan. Panas bumi, dengan karakteristiknya yang stabil dan rendah emisi, dianggap sebagai salah satu solusi yang dapat mempercepat pencapaian target emisi nasional.
Namun untuk mendorong pertumbuhan sektor ini, kepastian hukum dan kemudahan investasi menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Oleh karena itu, pendekatan pemerintah melalui revisi regulasi ini diharapkan mampu membuka jalan bagi investor, baik dalam maupun luar negeri, untuk lebih percaya diri dalam menanamkan modalnya di proyek-proyek panas bumi Indonesia.
Selain keuntungan ekonomi, pemanfaatan panas bumi juga memiliki dampak sosial yang signifikan. Proyek panas bumi umumnya berlokasi di daerah terpencil atau wilayah yang belum tersentuh pembangunan secara merata. Dengan adanya investasi di wilayah-wilayah tersebut, maka akan terjadi penggerak ekonomi lokal yang membawa manfaat ganda, mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga peningkatan infrastruktur penunjang.
Tidak hanya itu, pengembangan energi panas bumi juga akan berdampak positif terhadap ketahanan energi nasional. Dengan sumber energi yang tersedia di dalam negeri dan bersifat terbarukan, Indonesia akan lebih mandiri dalam mencukupi kebutuhan energi jangka panjang.
Ke depan, keberhasilan implementasi revisi PP ini akan sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Regulasi yang baik harus disertai dengan eksekusi kebijakan yang konsisten agar tidak hanya menarik di atas kertas, tetapi juga berdampak nyata di lapangan.
Dengan langkah korektif yang tengah disiapkan melalui revisi PP 7/2017, pemerintah menunjukkan bahwa pengembangan energi panas bumi bukan sekadar wacana, melainkan bagian dari komitmen konkret dalam mendorong transformasi sektor energi nasional.