Bahaya BPA di Galon Plastik Terungkap Lewat Riset Ilmiah

Selasa, 15 Juli 2025 | 09:17:22 WIB
Bahaya BPA di Galon Plastik Terungkap Lewat Riset Ilmiah

JAKARTA - Di tengah gaya hidup sehat yang makin populer, masyarakat kerap mengabaikan risiko tersembunyi dari wadah air minum. Temuan dari berbagai riset ilmiah internasional kembali menegaskan ancaman nyata dari paparan senyawa kimia berbahaya, Bisphenol A (BPA), khususnya pada penggunaan galon air guna ulang berbahan plastik polikarbonat.

Salah satu bukti paling kuat datang dari hasil studi ekstensif para ilmuwan lintas negara yang mengungkap keterkaitan erat paparan BPA dengan gangguan kesehatan serius. Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal Reproductive Toxicology tahun 2021, para ahli dari University of Missouri, AS, menjelaskan bahwa paparan BPA dalam jangka panjang dapat memicu perubahan epigenetik, meningkatkan risiko kanker payudara secara signifikan.

“Paparan BPA pada masa kanak-kanak tidak hanya merusak DNA tetapi juga meningkatkan risiko kanker payudara saat dewasa,” tegas Profesor Cheryl Rosenfeld, salah satu peneliti utama dalam studi tersebut.

BPA merupakan senyawa kimia yang lazim dipakai dalam pembuatan plastik polikarbonat, material utama galon air isi ulang yang banyak beredar di pasaran Indonesia. Tak hanya merusak DNA, riset global juga menyatakan BPA dapat mengganggu sistem hormon tubuh, dikenal dengan istilah endocrine-disrupting chemicals (EDC).

Bukti serupa diperkuat oleh hasil penelitian dari Harvard T.H. Chan School of Public Health. Para peneliti menemukan bahwa konsumsi air dari botol atau galon yang mengandung BPA secara terus menerus meningkatkan risiko infertilitas, diabetes tipe 2, penyakit jantung, obesitas, bahkan gangguan perkembangan otak pada anak-anak.

Dalam studi eksperimental yang dilakukan pada hewan, paparan BPA terbukti menyebabkan pubertas dini, kelainan metabolisme, serta perubahan perilaku agresif. Hal ini tentu memicu kekhawatiran lebih luas, mengingat mayoritas galon air minum yang beredar masih berbahan plastik polikarbonat yang mengandung BPA.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mengakui adanya risiko kesehatan dari BPA, walau mengingatkan bahwa tingkat paparan yang berbahaya harus dilihat dari durasi dan jumlah konsumsi. Namun, sejumlah riset terbaru menemukan bahwa akumulasi BPA dalam tubuh bisa terjadi meski konsentrasi yang terukur tergolong rendah.

Dari sisi perlindungan konsumen, sejumlah negara mulai mengambil langkah tegas. Uni Eropa, misalnya, telah melarang penggunaan BPA pada botol susu bayi sejak 2011, diikuti pelarangan di kemasan makanan kaleng. Negara-negara seperti Kanada dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat bahkan telah menerapkan larangan total terhadap BPA di produk yang menyentuh makanan dan minuman.

Sayangnya, di Indonesia, pemahaman publik tentang bahaya BPA masih terbilang minim. Sebagian besar konsumen lebih fokus pada harga ekonomis galon isi ulang ketimbang aspek keamanan bahan plastiknya.

Padahal, penelitian juga menemukan bahwa suhu panas seperti sinar matahari, proses pencucian dengan air panas, serta frekuensi pemakaian galon guna ulang bisa meningkatkan pelepasan BPA ke dalam air.

“Kontaminasi BPA sangat mungkin meningkat seiring penggunaan galon yang terus menerus. Paparan suhu tinggi mempercepat pelepasan zat kimia ini,” tulis hasil penelitian yang dikutip dari Environmental Health Perspectives.

Sejumlah pakar kesehatan di Tanah Air turut angkat bicara. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki), Dr. Dewi Sumaryani Soemarko, menyatakan, “Pengawasan distribusi galon plastik berbahan BPA perlu diperketat karena risiko kesehatan masyarakat dalam jangka panjang tidak bisa diremehkan.”

Dari aspek kebijakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia memang telah mengatur batas migrasi BPA dalam kemasan pangan, termasuk air minum dalam kemasan, sebesar 0,6 mg/kg. Namun, banyak pemerhati lingkungan menilai standar ini belum sejalan dengan tren pelarangan BPA secara menyeluruh di negara-negara maju.

Pakar toksikologi lingkungan, Prof. Heru Susetyo, mengungkapkan, “Regulasi kita masih longgar, padahal paparan BPA secara terus menerus bisa menimbulkan efek kumulatif yang membahayakan generasi mendatang.”

Kini, masyarakat Indonesia mulai didorong untuk lebih bijak memilih produk air minum. Beberapa produsen mulai menghadirkan opsi galon bebas BPA dengan material plastik yang lebih aman seperti PET (polyethylene terephthalate) atau material ramah lingkungan lainnya.

Namun, kehadiran galon tanpa BPA masih sangat terbatas di pasar. Faktor harga yang lebih tinggi dibanding galon konvensional menjadi salah satu tantangan utama dalam pergeseran konsumsi masyarakat ke produk yang lebih sehat.

Di tengah tantangan tersebut, edukasi publik menjadi kunci utama. Para ahli kesehatan menekankan pentingnya kesadaran konsumen dalam memilah produk air minum yang aman, termasuk rutin memperhatikan kondisi fisik galon guna ulang yang dipakai sehari-hari.

Kesimpulannya, sederet penelitian ilmiah global telah membuktikan bahwa ancaman BPA nyata dan tidak bisa diabaikan. Regulasi yang lebih ketat, edukasi publik yang masif, serta penyediaan pilihan galon bebas BPA yang terjangkau menjadi langkah krusial untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya paparan zat kimia berbahaya dalam jangka panjang.

Terkini